Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

12 Agustus 2009

THE DAY THE REPUBLIC OF INDONESIA STOOD STILL

Saya bertekad untuk terus menulis ide-ideku di blog ini, terlepas dari cara pandang masing-masing orang apakah itu benar atau salah. Namun saya berusaha untuk tetap idealis walau mungkin saja sebagian orang atau Pemerintah menganggap ide-ideku ini gila, nakal, bodoh, atau bertentangan dengan kaidah-kaidah bangsa. Namun saya hanya mencoba berusaha menuliskan sesuatu yang saya yakini kebenarannya, kebenaran yang hakiki, kebenaran yang mutlak dari ilahi bukan nisbi semata.

THE DAY THE REPUBLIC OF INDONESIA STOOD STILL
Memperingati 64 Tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Panentuan Pancasila Sebagai Dasar Negara

Sudah 23 tahun aku diajarkan pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) oleh Guru SD, SMP, dan PPKn di SMA serta Universitas. Di waktu SD inilah saat pertama ’ku berkenalan dengan Pancasila sebagai Dasar Negara.Bila kita selami nilai dan butir-butir Pancasila memang terlihat betapa mulyanya walaupun dalam kemasan yang singkat dan padat. Dan banyak aturan lain yang mendukung Pancasila dan lebih mendetail yang telah disebutkan dalam aturan perundang-undangan lain di Indonesia, baik melalui UUD 1945, Rumusan & Batang Tubuh atau melalui KUHP, Hukum Perdata dan lain-lain.

Kelahiran Pancasila sebagai Dasar Negara itu sendiri baru ditasbihkan pada 18 Agustus 1945. Bagaimanapun juga, Negara Indonesia seakan melegitimasi bahwa aturan-aturan ini hakikih dan menobatkan bahwa Pancasila sebagai Dasar Negara sebagai pedoman bertingkah laku. Hal ini seakan memposisikan Pancasila lebih tinggi nilainya dari aturan agama yang kita anut. Penghormatan pada Pancasila terlihat berlebihan seolah seperti pengkultusan saja. Padahal sesungguhnya kandungan Pancasila adalah nilai-nilai yang diambil diserap dari kaidah beberapa agama di Indonesia ini, dan sebagai titik tengah untuk mengatur kehidupan masyarakat dalam beragama dan bernegara tanpa berusaha menyinggung agama tertentu.

Seperti kita ketahui di Republik Indonesia adalah masyarakat yang sangat majemuk, terdiri dari berbagai macam etnis/suku, bahasa, dan agama, terbentang luas dari Sabang sampai Marauke, dan dari Miangas sampai Pulau Rote, seperti lirik pada jingle iklan mie instan.

Masyarakat Indonesia ini hidup dengan memeluk berbagai macam agama, mulai dari Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghochu, dan kepercayaan lain. Walaupun umat Islam adalah pemeluk agama terbesar dengan presentasi mencapai 80 persen diikuti penganut Kristen serta Katolik di posisi selanjutnya, nyatanya Indonesia tidak bisa menjadi negara yang berazaskan agama. Hal ini dikarenakan tidak ada agama yang dominan di seluruh propinsi Indonesia.

Bukan agama yang menyatukan kehidupan masyarakat Indonesia untuk mendirikan negara Indonesia. Melainkan perasaan senasib sepenanggungan untuk melepaskan diri dari belenggu Belanda yang menjadi faktor utama menyatukan bangsa Indonesia.

Hal ini jauh hari telah diisyaratkan dalam Kongres Pemuda 1928, melalui organisasi-organisasi kedaerahan, kepemudaan, atau agama saat berusaha membentuk konsep negara yang bernama Indonesia, dengan mempertimbangkan segala resiko dan kemungkinan-kemungkinannya, termasuk membahas langkah selanjutnya dalam merencanakan perlawanan untuk mengusir dominasi luar biasa Belanda dari muka Indonesia.

Perlawanan Bangsa Indonesia Menentang Penjajahan/Dominasi Asing

Namun selama periode 1928 hingga 1945 gerakan-gerakan ini seperti mati suri dengan ’hanya’ menanamkan ideologi dengan membentuk serikat, orientasinya masih sebatas gerakan bawah tanah (underground) untuk menyatukan tekad berdiri di satu panji kedaulatan Indonesia.

Namun ternyata tidak mudah merebut dominasi dari Belanda, bahkan saya harus akui kita gagal menciptakan waktu yang tepat untuk memerdekakan diri. Bahkan justru tahun 1942 bangsa Indonesia malah jatuh ke belenggu Jepang, hanya karena tidak ada pemimpin yang mau mengobarkan perang melawan Jepang dan membantu Pemerintah Hindia Belanda. Walau akhirnya kenyataannya tak rela tapi penyesalan selalu datang terlambat.

Untungnya tanggal 14 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat pada Sekutu setelah Hiroshima Nagasaki di bom atom. Dan rupanya para pemuda Indonesia seperti Sayuti Melik dkk, lebih antusias untuk memilih lepas dari cengkraman asing dibanding dengan Soekarno dan golongan tua.

Alhamdulillahnya, PPKI cepat terbentuk, bahkan hebatnya rumusan dasar negara bisa terselesaikan dalam waktu sesingkat itu. Bagi rakyat Indonesia Proklamasi adalah suatu pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia dari belenggu ekonomi, penindasan wilayah, dan hukum-hukum produk asing (Belanda dan Jepang). Namun asumsi Belanda proklamasi adalah pernyataan bentuk pembangkangan pada pengembalian wilayah Indonesia ke tangan Pemerintah Hindia Belanda.

Inilah yang menyebabkan perang kemerdekaan (perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia) dari tangan Pemerintah Hindia Belanda. Selama kurun 1945 hingga 1949, rasanya lebih pantas disebut perlawanan sesungguhnya kepada asing, khususnya belanda dan Inggris. Dengan hebat dan pantang menyerah rakyat Indonesia bersatu padu menghancurkan Belanda.

Walaupun tak bisa dikatakan berhasil, karena nyatanya korban yang berjatuhan di kedua pihak lebih banyak rakyat Indonesia. Namun gerakan perlawanan ini menendakan tekad yang bulat bangsa Indonesia dalam mengusir Belanda dari muka Indonesia. Apalagi Belanda juga dalam kondisi ’kepayahan’ karena baru selesai memenangkan Perang Diunia melawan Jerman dan Jepang. Sehingga terlihat banyak sekali perundingan yang digelar mulai dari Linggarjati, Roem Royen, yang pada intinya Belanda masih ingin berkuasa disebagian wilayah Indonesia. Namun rakyat kita rupanya sudahh bulat untuk mengelola pemerintahan ini sendiri TANPA CAMPUR TANGAN ASING. Hingga akhirnya secara de jure Belanda mengakui kemerdekaan kita tanpa syarat tanggal 27 Desember 1949.

Dalam perjalanannya mengelola negara, tampaknya ’kisah masa lalu’ seperti Majapahit selalu terjadi Seperti halnya pemberontakan Ronggolawe, Lembu Sora, Nambi, dan Kutii, Indonesia juga dilanda konflik, akibat perasaan tak adil negara menghormatii jasa-jasa perjuangan, juga ideologi, dan sikap negara yang dinilai mengkhianati perjuangan beberapa pihak. Jadi tak mengherankan, dulu kawan sekarang lawan, dulu pahlawan sekarang pemberontak. Setidaknya tercatat beberapa pemberontakan-pemberontakan itu adalah:

… Pemberontakan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII)
… Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) tanggal 23 Januari 1950
… Pemberontakan Andi Azis di Makasar
… Pemberontakan Republik Maluku (25 April 1950)
… Pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/ Perjuangan Rakyat
Semesta (PRRI/Permesta)
… Pemberontakan PKI di Madiun 1948
… Gerakan 30 September 1965 oleh PKI.

Belum lagi periode 1980-an sampai sekarang diramaikan dengan GPK di Aceh, OPM di Papua, RMS di Maluku, belum termasuk terorisme pimpinan Noordin M Top untuk membentuk Negara Islam (Kekholifaan Islam) di Indonesia.

Mungkin pemberontakan-pemberontakan seperti ini tak perlu tumbuh lagi jika dan hanya jika Pemerintah tak mengingkari nilai-nilai kemerdekaan Indonesia itu. Lalu apa bedanya Pemerintah sekarang dengan Pemerintah Hindia Belanda?

Mungkin hanya ras dan warna kulit yang berbeda, namun otak dan hati tak ubahnya mereka. Kehidupan Indonesia telahh condong kearah neo liberalisme. Sumber daya alam, kekayaan hayati bangsa telah jatuh ke tangan asing. Rakyat tak terurus, dan tak memperoleh kehidupan yang layak dimana dicita-citakan bangsa Indonesia dulu. Lalu masih layakkah kita bangga menjadi warga negara Indonesia?

Saya berharap kita masih punya harapan untuk membuat negara ini lebih ngajeni pada rakyatnya. Jika tidak, saya tak menjamin rakyat Indonesia kuat bertahan dengan kondisi seperti ini. Bukan tidak mungkin di tahun 2020 kita tak bisa menyaksikan lagi negara yang bernama Republik Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar