Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

10 Agustus 2009

Into The Wild

Mungkin aku sedikit telat mengetahui ada film yang bagus ini, baru awal bulan Juli 2009 kusaksikan film ini di HBO. Into The Wild adalah film yang sangat menarik, inspiratif, dan diadaptasi dari kisah nyata yang dijalani Christopher McCandless.

Ternyata mengadaptasi film dari sebuah kisah nyata adalah tantangan sulit nan rumit. Tebaran begitu banyak realitas saling menjalin membentuk kisah panjang dan komplek. Jika tak hati-hati pemampatan bisa berakhir pada film yang membingungkan. Namun Sean Penn sebagai Sutradara sekaligus Penulis Skenario, sukses membuat Into The Wild menjadi film petualangan yang sulit dilupakan. Bahkan tampil lebih memikat daripada buku berjudul sama karangan John Krakauer, yang menjadi dasar adaptasi.

Biografi pemuda bernama Christopher McCandless ini meraih bestseller sejak peluncuran tahun 1996. Butuh sekitar 10 tahun bagi Penn untuk mengangkatnya ke layar lebar, karena menunggu izin keluarga McCandless.

Film dimulai saat Chris (Emile Hirsch) sudah berada di liarnya alam bersalju Alaska, tujuan utama petualangannya. Langkah kaki Chris berakhir di depan sebuah bus rongsok yang terdampar di area terbuka di sela-sela kerimbunan hutan cemara. Setelah memeriksa dengan cermat, Chris pun memutuskan tinggal di bus tersebut dan dinamainya Magic Bus.

Lalu adegan berputar balik ke masa dua tahun sebelumnya,tahun 1990 saat wisuda kelulusan Chris dari Emory University di Atlanta. Kedua orangtua Chris (diperankan sangat baik oleh William Hurt dan Marcia Gay Harden) sebenarnya sudah punya rencana masa depan bagi anak pertama mereka. Salah satunya dengan membelikan Chris mobil baru dan tawaran pekerjaan.

Chris menolak semua rencana orangtuanya, lebih tepatnya ia muak dengan segala tatanan sosial kelas menengah yang menyelubungi kehidupannya sejak kecil. Chris memilih minggat. Tanpa kata pamit dan secarik surat ia meninggalkan rumahnya dan mulai berpetualang menjelajahi alam bebas di seantero Amerika Serikat.

Sebelum memulai pengembaraan, Chris menyumbangkan seluruh tabungannya, US$ 24.000, ke lembaga sosial Oxfam. Ia juga menggunting semua kartu kredit dan membakar kartu identitas serta jaminan sosial. Alexander Supertramp menjadi identitas baru Chris selama berpetualang menuju wilayah barat Amerika.

Sepanjang jalan, Chris bertemu dan tinggal bersama beberapa orang yang kelak mengubah hidupnya. Ada pasangan hippie Jen (Catherine Keener) dan Rainey (Brian Dieker). Kemudian bertemu petani gandum dan jagung, Wayne (Vince Vaughn), hingga duda tua pengrajin kulit Ron Franz (Hal Holbrook). Pertemuan dengan mereka menunjukkan Chris pada sebuah kesadaran, dalam sebuah petualangan yang terpenting adalah perjalanan, bukan tempat yang dituju.

Pengambilan gambar film ini dilakukan langsung di lokasi asli yang pernah disinggahi Chris. Mulai Arizona, California, South Dacota, hingga Meksiko. Malah untuk Alaska, kru film sampai bolak-balik empat kali demi mendapat gambar sesuai dengan musim.

Tak mengherankan jika sajian pemandangan alam dalam Into The Wild tergolong spektakuler. Penn memilih pola pengambilan gambar laiknya film dokumenter dalam Discovery Channel atau National Geographic. Meski tanpa kemasan romantis, pemandangan seperti pegunungan batu, sungai, padang rumput, hamparan ladang gandum dan jagung, serta hutan belantara tampak begitu indah.

Sederet pujian mengalir dari para kritikus ke film berdurasi 2 jam 25 menit ini. Berbagai penghargaan untuk beragam kategori dari Sao Paulo International Film Festival, Satellite Awards, hingga National Board of Review Amerika pun disabet.

Lagu Guaranteed yang dinyanyikan oleh Eddie Vedder dan music score Into The Wild masuk nominasi Golden Globe 2008 untuk kategori original song dan original score.

Sebagian pujian mengarah pada kematangan Penn saat menyajikan sosok Chris. Meski secara personal kagum pada petualangan Chris, Penn tak terjebak menokohkan Chris sebagai sosok pahlawan tanpa cela.

Chris tampil sebagai pemuda cerdas sekaligus naif. Pemuda yang marah pada tatanan sosial lalu nekat berpetualang tanpa perhitungan matang. Hanya demi mendapatkan kebebasan dan kebahagiaan dalam kesendirian di alam bebas.

Pada akhirnya, penonton tak diarahkan untuk menyukai atau membenci Chris. Tak ada upaya menghakimi perilakunya. Saya pun tak yakin apakah menyukai sosok Chris. Namun yang pasti saya menaruh simpati padanya dan bisa mengerti mengapa Chris memilih nekat berpetualang.

Apalagi, di penghujung hayatnya yang singkat, akhirnya Chris menemukan makna hidup. Kalimat terakhir dalam jurnalnya adalah: “happiness only real when shared”. Kebahagiaan tiada berarti tanpa kehadiran orang lain untuk berbagi.

2 komentar: