Malam ini, perasaan bercampuraduk di otakku, sesaat sebelum mengetik. Ada perasaan marah, dongkol, emosi, bahkan iri terhadap kesuksesan prestasi teman, lalu mengkritik tajam juga kesuksesan usaha/ bisnis seorang teman lainnya.
Sesaat yang lalu, aku membaca profil dan tulisan seorang teman dalam sebuah jurnal sains di sebuah universitas negeri di Jawa Tengah -tempat dia mengajar sekarang. Bukan tulisan ecek-ecek macam blog-ku yang nggak jelas ini tapi sebuah jurnal penelitian yang ditulis kira-kira 3 tahun yang lalu. Sebelum menempuh studi dan mengambil gelar PhD di Jerman.
Terus terang, aku kagum dengan prestasinya sekarang. Padahal kalau diingat-ingat jaman selepas SMA, sebenarnya dulu aku juga pingin ngambil bidang ini tapi gengsi dan malas untuk terjun sebagai peneliti. Jadi kuambillah jurusan alternatif lain yang banyak diserap pasar/industri. Mulanya, dia selepas lulus S1 juga kerja di industri dan sempat berbisnis. Eh... rupanya dia pingin balik lagi ke Universitas sebagai seorang Dosen -setelah hampir dua tahun 'jualan' cat thinner. Karirnya lantas terbang tinggi, mulai di sekolahin S2 di UGM, hingga akhirnya sekarang masih menempuh studi dan melakukan penelitian di Jerman.
Adalagi cerita teman lainnya tentang tolak ukur kesuksesan yang menurutku juga luar biasa. Seorang teman yang saat didunia industri terkesan 'malas' (menurutku mungkin jenuh), ternyata lebih berkembang usaha ketika dia keluar kerja dan merintis usaha warnet dan playstation. Bahkan kini dia telah punya 2 tempat usaha, dan setiap hari selalu rame pengunjung. Dari satu tempat usahanya saja keuntungan kotor antara 17 sampai 19 juta. Dipotong untuk listrik, biaya koneksi internet, sewa ruko, dan gaji karyawannya, dia masih punya keuntungan bersih diatas 10 juta perbulannya. Bayangkan kalau dua tempat? :)
Pernah suatu kali dalam benakku pingin melakukan usaha seperti ini di kota asal, tapi jadi mengurungkan niat. Gara-gara pernah dengar cibiran orang tua tentang suami saudara sepupuku yang lebih asyik melakukan bisnis seperti ini daripada kerja kantoran atau industri, padahal dia juga lulusan S1. Tapi apa salahnya, bukankah di dunia ini ujung-ujungnya juga cari makan buat perut kita dan keluarga kita? Apa masalahnya ketika lulusan Universitas lebih asyik berbisnis daripada mengaplikasikan ilmunya ke dunia industri atau perkantoran? Apa kita melakukan sesuatu karena Gengsi, status sosial atau terpaksa?
Yang saya lihat dari kesuksesan diantara kedua teman saya, dimana satunya seorang ilmuwan dan satunya lagi seorang Pengusaha. Semuanya terletak pada pengabdian dan mentalitas untuk mencintai apa yang dilakukannya. Jadi bukan karena terpaksa, karena ingin gelar tertentu, atau status sosial.
Jadi bagi kita yang masih menganggap di kehidupan ini belum sukses. Maka cintailah apa yang kamu inginkan, raih dan lakukan dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati. Karena saya akan melakukan sesuatu untuk merubah hidup.
Sesaat yang lalu, aku membaca profil dan tulisan seorang teman dalam sebuah jurnal sains di sebuah universitas negeri di Jawa Tengah -tempat dia mengajar sekarang. Bukan tulisan ecek-ecek macam blog-ku yang nggak jelas ini tapi sebuah jurnal penelitian yang ditulis kira-kira 3 tahun yang lalu. Sebelum menempuh studi dan mengambil gelar PhD di Jerman.
Terus terang, aku kagum dengan prestasinya sekarang. Padahal kalau diingat-ingat jaman selepas SMA, sebenarnya dulu aku juga pingin ngambil bidang ini tapi gengsi dan malas untuk terjun sebagai peneliti. Jadi kuambillah jurusan alternatif lain yang banyak diserap pasar/industri. Mulanya, dia selepas lulus S1 juga kerja di industri dan sempat berbisnis. Eh... rupanya dia pingin balik lagi ke Universitas sebagai seorang Dosen -setelah hampir dua tahun 'jualan' cat thinner. Karirnya lantas terbang tinggi, mulai di sekolahin S2 di UGM, hingga akhirnya sekarang masih menempuh studi dan melakukan penelitian di Jerman.
Adalagi cerita teman lainnya tentang tolak ukur kesuksesan yang menurutku juga luar biasa. Seorang teman yang saat didunia industri terkesan 'malas' (menurutku mungkin jenuh), ternyata lebih berkembang usaha ketika dia keluar kerja dan merintis usaha warnet dan playstation. Bahkan kini dia telah punya 2 tempat usaha, dan setiap hari selalu rame pengunjung. Dari satu tempat usahanya saja keuntungan kotor antara 17 sampai 19 juta. Dipotong untuk listrik, biaya koneksi internet, sewa ruko, dan gaji karyawannya, dia masih punya keuntungan bersih diatas 10 juta perbulannya. Bayangkan kalau dua tempat? :)
Pernah suatu kali dalam benakku pingin melakukan usaha seperti ini di kota asal, tapi jadi mengurungkan niat. Gara-gara pernah dengar cibiran orang tua tentang suami saudara sepupuku yang lebih asyik melakukan bisnis seperti ini daripada kerja kantoran atau industri, padahal dia juga lulusan S1. Tapi apa salahnya, bukankah di dunia ini ujung-ujungnya juga cari makan buat perut kita dan keluarga kita? Apa masalahnya ketika lulusan Universitas lebih asyik berbisnis daripada mengaplikasikan ilmunya ke dunia industri atau perkantoran? Apa kita melakukan sesuatu karena Gengsi, status sosial atau terpaksa?
Yang saya lihat dari kesuksesan diantara kedua teman saya, dimana satunya seorang ilmuwan dan satunya lagi seorang Pengusaha. Semuanya terletak pada pengabdian dan mentalitas untuk mencintai apa yang dilakukannya. Jadi bukan karena terpaksa, karena ingin gelar tertentu, atau status sosial.
Jadi bagi kita yang masih menganggap di kehidupan ini belum sukses. Maka cintailah apa yang kamu inginkan, raih dan lakukan dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati. Karena saya akan melakukan sesuatu untuk merubah hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar