Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

15 Mei 2018

My Untold Story : DO dari Calon Teroris


Saya agak bingung memilih kata kata yang tepat untuk postingan kali ini. Salah dikit, ntar dituduh dukung teroris dan kurang empati akan jatuhnya korban. Jadi mohon maaf sebelumnya jika ada kata yang kurang berkenan.

Innalillahi wa inna illaihi rooji'un.

Tragedi itu terjadi lagi. Negeri yang kocak ini digegerkan lagi dengan teror bom di Surabaya. Setelah sebelumnya terjadi ketegangan yang mengakibatkan korban jiwa di rutan di markas brimob kelapa dua, Depok, antara napi teroris vs anggota polisi.

Ketika teror terjadi di 'rumah' aparat penegak hukum saya anggap mereka mendapat lawan yang setara. Dia bawa senjata anda bawa senjata, ya silakan lah adu tembak, bom boman dll.

Tetapi yang saya sayangkan, kenapa harus di rumah ibadah, terlepas di Gereja atau lainnya. Namanya juga tindakan terorisme, mungkinn lain waktu bisa saja masjid, wihara, pura, candi hindu, atau borobudur bisa jadi targetnya.

Padahal ibadah itu perkara asasi antara manusia dengan dzat paling berkuasa, berkehendak dll yang disebut Tuhan, melalui metode dan cara yang dianutnya, mengikuti petunjuk manusia suci yang disebut sebagai Nabi.

Namun...rupanya mungkin tidak semua manusia sependapat dengan pendapat saya.

Saya paham dan tidak menutup mata bahwa kali ini pelakunya adalah beberapa keluarga muslim. Orang awam akan bertanya tanya, kok bisa ngebom sampai ngajak istri dan anak anaknya yang masih kecil. Kok tega?

Jawabannya adalah bisa. Kenapa? Saya coba akan bercerita pengalaman saya dulu sewaktu kuliah di ITS Surabaya, sekitar tahun 2002.

Seperti kebiasaan mahasiswa yang kuper, jika sudah malam saya sering menghabiskan waktu jalan jalan sendirian di Gramedia Kertajaya ketimbang jalan sama pacar. Lha wong ngomong sama cewek aja gemetaran, gimana mau pacaran.

Sebenarnya saya lebih menyukai buku buku komputer dan teknik, tapi tidak terpaku pada genre itu saja. Suatu hari ketika saya lagi tenggelam dalam rak buku buku Islam saya bertemu dengan seseorang yang berusia 35~40 tahunan, dan 'terlihat' lebih Islami dengan ciri berjenggot dan berdahi agak kehitaman. Lalu kamipun ngobrol basa basi perkenalan. Kemudian terlibat pembicaraan serius tentang Quran.

Saya orangnya 'open mind' walaupun saat itu cenderung berhaluan kiri, penganut Nietzsche dan Marxisme. Namun dari kecil saya mengenyam Madrasah dan dididik secara Islam yang taat. Walaupun sholat masih bolong bolong.

Karena ada perlu lain, akhirnya kami pisah dan bertukar kontak dan alamat. Ingat waktu itu belum ada Facebook, Whattapps, BBM dll. Yang ada telepon rumah dan hp tat tit tut (itupun jarang yg punya).

Singkat cerita, beberapa hari kemudian orang tersebut datang ke kosanku. Tentu saja saya welcome. Kemudian saya perkenalkan ke beberapa teman saya. Namun reaksi orang tsb menginginkan hanya saya saja untuk diskusi bedah Quran. Dan pada pertemuan berikutnya saya diajak ke masjid UPB di daerah Deles, tak jauh dari kosanku. Disitu saya bertemu dengan seorang lagi. Bayangan saya tuh.... saya diajak dengarin ceramah bareng bareng dengab jamaah lainnya. Tapi ternyata, di masjid tidak ada aktivitas selain sholat Maghrib, dan berdoa. Namun, di teras masjid saya dan 2 orang kenalan baru saya mengaji.

Mulanya tidak ada yang aneh... Tapi lantas orang tsb menukil nukil beberapa ayat dari surat, dan mencari arti pemahamannya. Tentu saja pemahaman menurut mereka. Hari pertama ngaji di luar kosan tidak terlalu aneh.

Kemudian beberapa hari kemudian saya ke masjid UPB sesuai janji ketemuan lagi. Sekali lagi seusai sholat kami tidak membaur dengan jamaah lainnya. Dan... mulai menggali dan menukil nukil surat tertentu. Saya agak mulai curiga kenapa yang dinukil adalah ayat ayat yang berkaitan dengan kenikmatan hidup di jalan Allah, jihad, dan penegakan amar ma'ruf nahi munkar. Penegakan ulil amri, dan menyerukan memerangi pemerintahan yang salah (Pemerintah yang Thoghut ).

Sebenarnya siapa yang tidak tergiur akan menjadi golongan yang langsung masuk ke Surga jika berjihad di jalan Allah. Betapa wangi surga tercium dan akan menjadi hamba yang mulia.

Suatu saat saya ada kerjaan (praktek demo), hingga nggak bisa ketemuan ngaji. Akhirnya ba'da Isya' salah satu dari mereka ke kosan saya. Ya... saya minta maaf namun janji untuk ketemuan kapan kapan lagi. Namun kenalanku tersebut sempat ketemu dengan teman kosanku yang seneng jahullah. Mereka tampak bertukar pikiran serius. Namun saya tidak terlalu perhatian, karena saya sibuk nyelesain demo PLC .

Kemudian setelah kenalanku pulang, temen kosku cerita kalau ternyata pemahaman dia beda dengan kenalanku. Bahkan dia menasehatiku, "ati ati lho Mat, kon ketemu nangdi ambek wong iku?"

"Lagi musim NII/DII, saya khawatirnya kenalanmu tersebut cenderung kesana atau golongan radikal lain", ujarnya.

Beberapa hari selepas dinasehati teman, saya masih ketemuan dengan mereka, bandel kan. Sebenarnya aneh ngaji kok dewean, saya sering nanya, katanya nanti diajak bareng bareng kalau sudah sama pemahamannya. Dan hari yang ditunggu tiba saya hendak diajak ngaji ke tempat lain. Apalagi nanti kalau ke lokasinya harus ditutup matanya. Disinilah saya berontak, mbatin "waduh mesti dibaiat aku."

Dari sini cerita saya 'ngaji' berhenti. Saya melarikan diri dengan alasan pacaran (kencan). Ya... kebetulan saat itu ada yang mau denganku, hehehe... Dan lama kelama kelamaan hilang kontak.

Btw, siapa yang tidak tergiur akan menjadi golongan yang langsung masuk ke Surga, jika berjihad di jalan Allah. Bahkan sebagai imam kenapa nggak mengajak keluarga sekalian untuk bersama sama di jalan yang 'mulia'. Menghancurkan kaum yang bertentangan (Thaghut). Walaupun harus berkorban nyawa, nyawa anak, nyawa isteri. Kalau untuk Allah kenapa nggak. Ismail kecil pun dengan senang hati untuk mengorbankan diri, jika ini adalah kehendak Allah.

Itulah jawaban kenapa mereka rela mengorbankan anak isteri.

Tapi... saya tidak sependapat kenapa harus melakukan teror di Indonesia. Kenapa memerangi sesama warga negara Indonesia, kita tidak sedang berperang. Kalaupun ingin menegakkan Islam di negara Indonesia bukan dengan cara ini.

Kita tidak bisa membersihkan sesuatu dengan air yang kotor.

24 Februari 2018

Super Parsa

Anakku cowok yang satu ini memang luar biasa dalam hal Matematika.

Padahal dahulu, saat masih sekolah kelas 1 ~ 2 di Batam dia masih lambat berhitung, dan memakai tangan.

Namun peningkatan pesat terjadi ketika istri dan anak yang pindah ke Lamongan, di saat Parsa kelas 3 SD. Waktu itu pertenghan kelas 3, ada brosur Kumon, dan istri tertarik untuk memasukkan Parsa kursus Kumon. Tentu saja aku yang merasa tidak pernah memaksakan ikut ini itu kecuali ajaran ibadah Islam, menanyakan Parsa, tertarik atau tidak dengan Matematika. Dan dia senang katanya. Akupun OK aja (siap bayarin SPPnya), asal dia bahagia.

Dan... dia mulai berkembang pesat. Level demi level telah di raih.

Pada waktu kelas 4 SD, Parsa pernah mengikuti lomba KMNR. Waktu seleksi tingkat Lamongan Parsa pun lolos ke Surabaya. Waktu di Surabaya, masih banyak teman temannya dari SD Muhammadiyah Lamongan yang bersamanya. Namun sayangnya, hanya Parsa lah yang lolos ke final di Bogor. Itupun hanya 5 orang wakil Lamongan dari kelas 4. Akhirnya saya pun ikut mendampingi beserta satu guru dari SD-nya. Tapi ketika di Bogor Parsa tidak mendapatkan medali. Namun kami semua sangat bangga padanya. Kamu hebat.. anggap ini pengalaman berharga.

Beberapa saat kemudian Parsa mendapatkan piala dari KUMON atas peningkatan level G kalau tak salah, yang luar biasa.

Namun kemudian istri memutuskan balik ke Batam setelah pengobatannya selesai. Jadinya yang tinggal bersamaku adalah istri dan adiknya Parsa, yaitu Echa yang mulai sekolah SD Mutiara Insani di Batam. Echa ini juga luar biasa, tapi nanti kujelaskan dalam segmen yang lain.

Parsa karena sudah merasa nyaman, akhirnya tetap sekolah di Lamongan. Tinggal bersama mbah Kung dan mbah Utinya.

Namun Allah memiliki cerita yang lain. Ada musibah, mbah uti atau ibundaku wafat. Otomatis galau dong ninggal anak dengan mbah kungnya saja.

Dan akhirnya, istriku menemui pihak sekolah untuk berencana memindahkan Parsa ke Batam lagi. Walaupun aku tahu sebenarnya Parsa gak mau, tapi dia pasrah saja. Namun rupanya pihak sekolah keberatan, karena banyak berencana mengikutkan Parsa dalam banyak perlombaan.

Ya udah, akhirnya kami mengurungkan niat itu. Apalagi mbah kung atau Bapak tidak mau diajak pindah menempati rumah adikku. Ya.... itung itung Parsa buat temennya mbah lah, setelah gak da ibu. Tapi tiap 3 bulan sekali pasti aku jenguk.

Ya.... Parsa pun diikutkan lomba Olimpiade Matematika seleksi kecamatan. Dan hasilnya, Parsa Juara 1 lolos tingkat Kabupaten.

Eh... selesai lomba ini, ternyata ada Olimpiade Ahmad Dahlan tingkat karesidenan Bojonegoro. Olimpiadenya yayasan Muhammadiyah se -Lamongan, Bojonegori, Tuban. Lagi lagi Parsa dapat piala, kali ini Juaara Harapan II. Karena ternyata ada presentasi yang mana si abang jelas 'susah' ngomong. Tapi patut bangga, karena dari Juara 1 hingga Harapan 1 semuanya kelas 6, dia sendiri kelas 5.

Tak jauh dari Olimpiade Ahmad Dahlan, eh langsung disusul Olimpiade Matematika tingkat Kabupaten. Kalo menurutku, orang Lamongan kota 'kan sudah dikalahkan Parsa, jadi seharusnya mudah Juara. Namun rupanya tidak mudah, karena babak pertama nilai Parsa kalah dengan dari kecamatan Babat. Tapi di babak berikutnya Parsa meraih nilai terbaik dan Juara 1, disusul Babat, dan Aji anak SD Jetis III.

Perasaan baru tanggal 22 Februari dia tanding, ealah Sabtu ini, 24 Februari ini kok dia lomba lagi di Babat katanya. Juara atau tidak, kami patut bangga padanya.

Namun adakalanya abang sulit menerima kekalahan. Seperti saat lomba yang diadakan Sakinah dan di Babat tadi pagi. Mungkin dia mikir kok iso seh, padahal dia sempat nongkrong ranking 2 di sesi awal. Namun di final cuma peringkat 22. Tapi setelah aku cek soalnya memang dia melakukan perhitungan yang salah. Lha inilah saatnya bagi ortu untuk bisa menguatkan dan menerima kekalahan dari kesalahan. Wajar, mental anak masih muda tentu masih labil. Namun selama ada harapan dan tidak membuat patah arang. Tetap semangat, dan belajar dari kesalahan. Insya Allah bisa berprestasi lagi.

Terus terang saya iri, karena semasa SD saya hanya sekali ikut lomba MIPA, itu pun cuma dapat Juara Harapan I. Ya... si abang Parsa memang super, dan saya bangga dan bersyukur memiliki, mendapat amanah ini.



Duka Yang Berturut Turut


Sebelum ibunda meninggal, kami semua (anak turun mbah Daeah) sempat menjenguk Rina, adik sepupuku anak lik Pung yang ada di Surabaya. Rina adalah anak pertama Lik Pung kelahiran kalau tak salah tahun 1989. Adiknya Febrianto atau biasa dipanggil Yoyok aku tak pernah menjumpainya lagi, setelah dewasa.

Pada saat reunian keluarga besar Bani Amin beberapa hari pasca hari H Idul Fitri, kami memang diberi tahu kalau lik Pung selaku Ketua tidak bisa hadir karena Rina masuk RS, harus cuci ginjal.

Jadinya kami semua niliki Rina yang menurutku kondisinya memprihatinkan. Di dekat leher ada bekas lubang untuk transfusi cuci darah. Walaupun saat itu dia bisa duduk, namun sering batuk dan nafas seperti tersengal. Kami memompakan semangat.

Lik Pung sudah menikah lagi, setelah bu lik Sri ibunya Rina meninggal beberapa tahun sebelumnya karena diabetes.

Namun takdir illahi berkata lain. Rina pun menyusul ibunya karena penyakit yang sama di bulan September 2017, masih muda padahal. Di tempat yang sama dengan ibunya dia dimakamkan.

Kemudian ibunda tercintaku menyusul di bulan Oktober 2017.

Lalu Pakdhe Marlan, saudara sepupu ibuku turut menghadap illahi pasca sakit tua beberapa tahun di tanggal 9 Januari 2018. Tepat 3 bulan pasca wafatnya ibu. Dan beliau dikebumikan didekat ibunda tercinta.

Ya... takdir Allah itu penuh rahasia. Dan... ketetapan Allah itu pasti, tinggal kapan dan dimana itu adalah rahasia. Hanya bisa berdoa dan melakukan yang terbaik di dunia ini.

Saya Merindukanmu Bu, Maafkan Anakmu Ini

Lama aku tak berceloteh di blog ini, padahal banyak peristiwa yang kualami.

Satu kejadian paling menyedihkan adalah disaat aku, dan kami semua kehilangan ibunda atau mbah uti tercinta. Ya... ibunda tercinta, yang paling baik, paling bisa mengerti, paling sabar, dan semua yang terbaik telah menghadap illahi.

Padahal, aku berencana mengunjungi ibu dan merayakan, saat ulang tahunnya yang ke-67 di tanggal 10 Oktober 2017. Namun ternyata suratan takdir berkata lain.

Beberapa hari menjelang ultah ibu, yakni akhir bulan September, ibu merasa badannya lemes, nggak berdaya. Lalu cek ke dokter dan berobat, ternyata gula darahnya tinggi sampai 400an. Ibu memang ada riwayat gula darah tinggi (diabetes).

Namun beberapa hari tak kunjung enak badannya, akhirnya adikku yg pertama yang tinggal di Lamongan, Erni memutuskan membawa ibu ke rumah sakit RSUD Dr. SOEGIRI. Ibu dirawat disana. Adikku yang kedua, Evy pun memutuskan pulang dari Jakarta demi menunggui ibu. Pada hari keempat akhirnya ibu diperbolehkan pulang, di hari Jumat Malam. Kondisi ibu terlihat membaik, dan bahkan bisa 'keluyuran' di sekitar rumah. Aku bahkan dilarang pulang sama beliau karena sudah merasa baikan. Saat itu tanggal 7 Oktober, tapi aku tetap ngotot untuk pulang pada saat ibu berulangtahun tanggal 10 Oktober. Lagian aku pingin ngunjungi anak pertamaku yang kutitipkan di Lamongan sama Mbah Kung dan Mbah Utinya.

Lalu tanggal 8 Oktober, menurut adikku, ibu seperti diserang rasa panik, ketika tahu bapak tidak ada di rumah. Padahal saat itu bapak lagi cari bubur. Dan ibu batuk sedikit, namun nafas terasa berat.

Adikku yang kerja di Jakarta berencana balik lagi ke Jakarta pada hari itu. Namun dia ragu-ragu melihat kondisi ibu kok seperti itu. Namun, ibu menyuruh adikku untuk balik ke Jakarta, karena adiku sudah lama cuti. Dengan terpaksa adikku pun naik kereta api sesuai tiket yang telah dibelinya. Dan dia info ke aku kalau dia harus balik ke Jakarta namun tidak tega karena kondisi ibu drop lagi. Akupun sudah beli tiket pulang pada hari Senin pagi, 9 Oktober 2017. Karena tiket hari Minggu sudah habis.

Disaat lain, adikku Erni membawa kembali ibu masuk UGD RSUD. Sebenarnya saat itu, ibu bisa jalan naik mobil. Namun pada saat di UGD kondisinya drop, tapi masih sadar.

Gula darah ibu sekitar 400an. Mulai saat itu semua organ ibu dicek. Dan ditemukan ada phnemonia di lobus paru-paru yang sudah menyebar. Darah ibu saat diambil untuk dicek juga terlihat menghitam. Aku trenyuh dan hanya bisa berdoa karena aku tak disampingnya. Adikku Erni lah yang selalu mendampinginya, dan keponakanku dan bulik-bulikku.

Sampai jam 10 malam kondisi ibu belum stabil, ritme nafasnya masih kurang bagus, dan masih harus tetap di UGD. Menjelang pergantian hari, jam 12an malam, ibu dipindah ke ruangan rawat pasien. Karena kondisinya dirasa stabil. Sama di ruangan sebelumnya, bahkan adikku sempat berseloroh dan ibu masih tersenyum.

Namun... tak dinyana, sebelum masuk ke ruangan. Tarikan nafas sekali ibu dan tiba-tiba 'tertidur'. Dan... usaha RPJ sudah dilakukan maksimal. Sekitar setengah jam akhirnya dokter menyatakan ibu meninggal tepat di jam 1.00 dini hari, tanggal 9 Oktober 2017. Tepat sehari, sebelum ulang tahunnya.

Adikku Evy mengetahui kabar ini saat dia berada di KA yang tiba Semarang. Atas berita ini, tentu saja kami sekeluarga pulang dari Batam.

Namun... ternyata secepat-cepatnya kami. Aku tak bisa melihat wajah ibu tercinta di saat terakhir kali. Mungkin inilah penyesalanku, menunda nunda kepulangan.

Memang, aku sering pulang ke Lamongan, setidaknya 3 bulan sekali. Dan.... terkadang aku lupa, masih mencari-cari dimana keberadaan ibu, kok tidak menyapaku.

Hmm... aku kan selalu berdoa untukmu Bu, semoga engkau wafat dalam keadaan khusnul khotimah dan surga menjadi tempat tinggalmu. Aaamiin.