Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

25 Mei 2012

Outsourcing, Celah 'Halal' Dalam Ketenagakerjaan

Sebenarnya ingin mem-publish artikel ini pada Hari Buruh 1 Mei 2012 yang lalu. Namun kesibukan di dunia kerja, membuatku gagal menyelesaikan coretan yang jauh dari kata sempurna ini. Kali ini saya ingin fokus pada masalah outsourcing, masalah yang selalu menjadi isu penting dalam setiap sekat perusahaan.

Ada pengalaman teman dari Perusahaan tetangga, masih di lingkup Mukakuning Batam. Sudah 6 tahun dia bekerja di perusahaan tersebut sebagai Teknisi. Mulanya kukira dia karyawan permanen, tapi ternyata 'Permanen Kontrak'. Ceritanya tiap 6 bulan dia dikontrak, tapi ketika sudah maksimum kontrak dua kali, dia 'dilempar' atau bahasa halusnya dialihkan ke ke penyalur sebagai pihak kedua. Dan Seolah-olah teman saya itu bekerja pada pihak kedua, padahal aktualnya dia tetap bekerja seperti biasanya, di PT yang sama dan memakai seragam yang sama. Kemudian setelah kontraknya maksimum dengan pihak penyalur tersebut lalu dipindahkan ke pihak yang lain.

Sesungguhnya perjanjian kerja outsourcing atau alih daya merupakan bagian kapitalisme global dan cenderung merugikan pekerja. Sistem itu disukai kalangan Pengusaha karena bisa memangkas berbagai tunjangan yang harus dikeluarkan perusahaan. Sistem outsourcing tidak hanya ada di Indonesia, tetapi di semua negara. Di semua negara pada prinsipnya sama, pengusaha menghindari karyawan tetap untuk menghindari hak-hak pekerja.

Di Indonesia untuk masalah ketenagakerjaan sebenarnya telah memiliki dasar hukum, yakni UU No. 13 Tahun 2003. Namun sistem outsourcing seolah 'terlepas' atau 'memang sengaja' ditiadakan dalam aturan perundang-undangan tersebut. Permasalahan lain dalam hubungan hukum berupa hubungan kerja adalah mengenai sanksi. Pada undang-undang tersebut tidak memuat mengenai sanksi terhadap pelanggaran ketentuan pasal-pasal yang mengatur mengenai perjanjian kerja.

Padahal hal ini sangat penting dan amat rawan bagi pekerja untuk menuntut hak-haknya secara hukum, apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan perjanjian kerja dalam undang-undang tersebut.

Sebenarnya outsourcing ini lebih ditujukan pada pekerjaan-pekerjaan yang tidak berkaitan langsung dalam proses produksi sendiri. Contohnya seperti pekerja Cleaning service, Security, atau Facility. Namun berdasarkan pengamatan penulis, hampir semua perusahaan yang memanfaatkan jasa outsourcing melakukan 'penyimpangan'. Dimana ternyata outsourcing dilakukan pada bidang-bidang yang bersentuhan langsung dalam perusahaan.

Oleh karenanya 'wajar' apabila terjadi pekerja yang bekerja terus menerus dengan sistem kontrak yang diperbaharui, atau bahkan kemudian dialihkan menjadi pekerja outsourcing yang konsekuensi sanksi hukumnya lebih mudah dihindari oleh perusahaan pengguna. Bergantungnya perjanjian kerja bagi pekerja outsourcing dengan perjanjian kerjasama antara perusahaan pengguna dengan perusahaan penyedia jasa outsourcing, seperti dapat ditarik analogi berdasarkan hubungan dalam kedua perjanjian tersebut. Artinya perjanjian kerja outsourcing sangat bergantung pada perjanjian kerjasama perusahaan pengguna dan penyedia jasa. Apabila perjanjian kerjasamanya berakhir sebelum waktu yang diperjanjikan, maka perjanjian kerja outsourcing juga dengan demikian menjadi berakhir bersamaan dengan berakhirnya perjanjian pokoknya yaitu perjanjian kerjasama antara perusahaan pengguna dan perusahaan penyedia jasa.

Sebenarnya berdasarkan Pasal 62, UU No. 13 Tahun 2003, perjanjian kerja waktu tertentu akan berubah menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu, dengan demikian para pekerjanya bukan lagi menjadi pekerja kontrak tetapi diangkat menjadi pekerja tetap. Masa kerja pekerja tersebut pun dimulai sejak pertama kali pekerja tersebut diterima bekerja. Akan tetapi ketentuan UU No. 13 Tahun 2003 membatasi pekerja yang bekerja dengan dasar perjanjian kerja waktu tertentu secara terus menerus dan demi hukum akan berubah status menjadi pekerja tetap yang diikat dengan perjanjian kerja waktu tertentu serta ketentuan mengenai pekerja outsourcing yang kedudukannya dapat beralih menjadi pekerja di perusahaan pengguna, apabila terjadi pelanggaran ketentuan pasal dalam undang-undang ketenagakerjaan tersebut mengakibatkan akal-akalan yang terjadi selama ini adalah mempekerjakan mereka kembali dengan status pekerja baru dengan memberikan masa jeda selama beberapa bulan sebelum pekerja tersebut dipekerjakan kembali.

Hal tersebut tentu sangat merugikan pekerja, sebab status dan kedudukan pekerja menjadi tidak jelas serta tidak ada kepastian hukum bagi pihak pekerja itu sendiri. Keluhan terakhir akhirnya tetap datang dari pekerja outsourcing yang semula berstatus sebagai pekerja kontrak bertahun-tahun dengan pembaharuan kemudian beralih menjadi pekerja outsourcing yang dalam kontraknya harus menawarkan jasa dan terikat dengan ketentuan-ketentuan yang memberatkan. Sebagian pekerja outsourcing ini cenderung lebih memilih bekerja kontrak dibandingkan dengan bekerja secara outsourcing karena kemudian menjadi lebih tidak jelas mengenai hak dan kedudukannya.

UU No. 13 Tahun 2003 menyebutkan pada Pasal 50 bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh atau dalam Pasal 1 Ayat (15) dikatakan hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, dan Pasal 1 Ayat (16) menyatakan hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah.

So, jadi apakah ada niat dari Pemerintah untuk menghapus sistem outsourcing yang sudah out of control. Anda sudah tahu jawabannya dan saya merasa skeptis, jadi, "Tidak mungkin!" Karena inilah celah 'halal' Pengusaha untuk berlindung dari aturan ketenagakerjaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar