Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

15 Juni 2015

It's Not Fault in Our Stars

Hari ini, adalah hari terakhir kebersamaan bagi kami di Batam. Mungkin ini sementara, tapi feeling saya berkata sebaliknya! Ya... mau gimana lagi, kebersamaan dengan keluarga kecil kami, tumbuh dan berkembang hingga mereka berdua telah mengenyam pendidikan, rasanya.... terlalu indah kesan itu untuk dihapuskan.

Saya telah bertekad, bahwa bagaimanapun juga istri harus sembuh, dimanapun tempatnya, harus kami jalani walau harus meninggalkan rumah mungil kami. Memang ini mungkin kado yang aneh bahkan mungkin tidak mengenakkan buat bang Parsa, anak pertama kami yang besok tanggal 18 Juni 2015, mencapai umur yang ke-8. Di usia muda, sudah harus pindah ke Sekolah dimana adat dan budaya jelas berbeda. Disini dia terbiasa akrab dengan adat Melayu, Padang, Aceh, Batak, Jawa, dan Sunda. Sedangkan di tempat barunya, yang mana kota asal saya, adalah kental dengan adat dan bahasa Jawa. Sekali lagi, anak harus mengikuti orang tua. Begitupun Echa, cewek centil yang belum genap 5 tahun harus mengurungkan niatnya gabung di blok B, TK Permata Bunda.

Tentu dari kedua putra-putri-ku, mungkin psikologis paling berat ada di Bang Parsa. Bagaimanapun juga, saya bangga terhadap pendidikan yang telah diberikan SDIT Mutiara Insani pada abang Parsa. Memang pada dasarnya abang Parsa cerdas, tetapi sekolah yang telah mengasah, hingga dia tahfiz juz 30, dan sedang menjalani menghafal Juz 29. Hingga dia pernah ikut seleksi Hafiz Quran di Trans7. Walau gagal lolos, saya tetap bangga. Di Ekskul Karate pun dia sudah sabuk hijau, renang pun dia sudah bisa. Pokoknya dia lebih dari saya! Hanya saja dia memeng sedikit kurang imajinatif.

Kembali lagi ke persoalan mengapa kami harus pindah? alias boyongan ke Jawa? Permasalahan inti adalah pada proses penyembuhan istri. Rumah Sakit di Batam tidak memiliki obat, dan kemoterapi untuk pasien Kanker Kandungan. Ya... atas analisa Dokter Obgyn di RSAB, istri terindikasi terserang penyakit ChorioCarcinoma.

Dueng... jelas gue panik ketika mendengar vonis dokter! Please deh, jangan lagi, dalam hati gue berkata seperti itu!

"Why always me?"
"Why always not!" mungkin itu jawab Tuhan.

Setahun yang lalu ibu saya divonis kanker payudara, alhamdulillah setelah operasi pengangkatan dan kemoterapi, ibu sudah sembuh! Sekarang giliran istri saya, divonis kanker ChorioCarcinoma. Kali ini saya juga berharap istri tetap bersemangat, dan menyambut tantangan Tuhan agar selalu beriman dan berserah diri pada-NYA. Begitupun buat saya, gimanapun juga semua mesti ada hikmahnya.

Untuk sementara ini, istri dan anak-anak pulang dulu ke Jawa, saya masih kerja disini, sambil cari kerja di Jawa. Dan akan pulang, setiap kali istri menjalani tindakan medis.

Sekali lagi, ini bukan kesalahan bintang kami. Sebagai seorang yang berzodiak cancer, saya dikelilingi orang-orang yang saya cintai terkena kanker. Sedih.... tetapi harus semangat!

2 komentar:

  1. Gimana kabar istrinya mas ?
    Teman ada yang sakit seperti istrinya.
    Bisakah sembuh total & kembali sehat ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebenarnya diagnosa awal istri adalah Mola hidatidosa (atau hamil anggur). Biasanya setelah kuret hamil anggur ini rahim sudah bersih. Namun istri saya masih mengalami pendarahan.
      Dokter kemudian mendiagnosa kalau mola ini belum tuntas, bisa berbahaya bagi rahim. Harus mendapatkan penanganan kemoterapi, karena dikhawatirkan ini Chorio Carcinoma (kanker ganas).
      Di RSUD Dr. Soetomo, Surabaya, istri saya malah nggak sempat kemo, cuma kontrol makan, banyak minum vitamin, dan hasil darah beta HCG dicek selama 1 tahun, alhamdulillah turun ke zero. tapi selama periodik 1 bulan, 6 bulan, dan per tahun tetap harus kontrol untuk memastikan sudah sehat.
      Praktis sebenarnya Juli 2016 sampai sekarang istri alhamdulillah sehat

      Hapus