Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

06 Juni 2012

Polisi Over Acting, Bonek Jadi Tumbal

www.centroone.com
Terkait insiden tewasnya seorang suporter Persebaya saat lanjutan kompetisi Indonesia Premier Lague (IPL) melawan Persija di Gelora 10 November, Surabaya, Minggu (03/06) kemarin. Ketua Yayasan Suportes Surabaya (YSS) anggap tindakan polisi berlebihan.
"Bonek sebenarnya hanya ingin mencopot spanduk di pinggir lapangan saat pertandingan usai. Namun dihadang polisi. Keduanya pun cekcok dan aksi saling dorong. Inilah yang memicu lemparan botol air minum dari tribun ke arah polisi di lapangan yang disusul tembakan beberapa gas air mata oleh polisi yang membuat suporter berhamburan hingga ada yang terinjak dan tewas," terang Ketua YSS, H Imron, Senin (04/06).
Dikatakannya, aksi aparat kepolisian yang menembakkan gas air mata ke arah penonton adalah reaksi berlebihan.

"Penyelesaiannya tidak harus seperti itu, tak harus dengan kekerasan. Kalau Bonek ada masalah, cukup tegur saja korlap boneknya," tandas pengganti Wastomi Suheri sebagai Ketua YSS itu.

Cerita lain datang dari Dirigen Bonek, Okto Tyson. Dituturkannya, tindakan polisi itu over acting. Pasalnya, saat beberapa bonek turun ke lapangan untuk mencopot spanduk di pinggir lapangan. Pertandingan tersebut sudah selesai. Namun, polisi yang masih bersiaga, tiba-tiba menendang dan memukul sporter dengan pentungan.

"Melihat ada beberapa bonek yang di lapangan di pukul dan ditendang. Rekan-rekan bonek yang ada di tribun pun marah dan melempar botol mineral ke tengah lapangan," terangnya.

Mendapat lemparan, polisi pun langsung membombardir para bonek di tribun dengan beberapa tembakan gas air mata. Akibatnya, para bonek, diantaranya anak-anak dan wanita berdesak-desakan berebut keluar stadion.

"Itulah yang membuat banyak korban mengalami luka dan satu orang meninggal dunia akibat terinjak-injak saat berebut keluar," tukas Tyson. (sumber)

Bonek Ketiban Awu Anget
Beda konteks antara kerusuhan suporter di Surabaya dan di Jakarta. Dan kita tidak bisa menjeneralisasi keadaan bahwa situasi yang terjadi adalah sama. Saat momen kerusuhan di Surabaya pecah, publik masih hangat-hangatnya dibayango kekerasan antar suporter Persija terhadap suporter yang disinyalir dari Persib. Istilahnya Persebaya saat itu hanya ketiban awu anget dari permasalahan yang belum tuntas. Sepertinya ini menjadi kado buruk bagi warga Surabaya yang baru saja merayakan Hari Jadi Kota Surabaya

Padahal kalau dilihat sepanjang jalannya pertandingan, sangat seru. Memang ada riak riak kecil, ketika penonton melempari botol mineral ke tengah lapangan karena terprovokasi pemain lawan, tapi langsung dihentikan. Sepanjang pertandingan korlap telah bekerja ekstra keras hingga akhirnya 90 menit berjalan normal.

Aksi kerusuhan justru terjadi setelah pertandingan usai ketika bonek mania ingin mencopot spanduk di pinggir-pinggir lapangan, namun malah dihadang petugas polisi. Petugas mungkin terlalu panik ketika penonton mulai turun ke lapangan. Celakanya malah petugas kepolisian yang menembakkan gas air mata ke arah penonton dan itu sangat berlebihan. Padahal mereka hanya mengamankan pertandingan dan bukan menangani pengunjuk rasa yang marah. Polisi tidak perlu bertindak berlebihan dalam mengatasi aksi para suporter. Apalagi dengan tembakan dan dengan kekerasan.

Tindakan polisi tersebut over acting dan terkesan tidak dapat menguasai massa. Mungkin juga ada kaitannya dengan kepemimpinan Kapolrestabes Surabaya yang sekarang, Irjen Pol Tri Maryanto, berbeda karakter dengan pendahulunya, Kombes Pol Coki Manurung yang dinilai lebih dekat dan persuasif.

Dan yang jelas, kita tidak bisa menjeneralisasi kasus ini dengan kasus Persija vs Persib. Bahwa suporter bola itu biang rusuh, itu juga tidak bisa dibenarkan. Karena sesungguhnya sepakbola tanpa penonton itu ya sama saja mematikan olahraga tersebut. Olahraga tidak bisa dilepaskan dari sisi komersil alias sponsor. Sponsor mana yang mau menseponsori pertandingan yang tanpa 'gairah'? Apalagi sampai tak diberi ijin menggelar pertandingan.

Koreksi ini harusnya dijalankan seiring sejalan di sisi ekstrenal dan internal. Artinya, dalam pihak suporter seharusnya turut mendewasakan diri. Korlap, Korwil, dan Ketua Suporter haruslah bisa memimpin dan memberi sanksi tegas anak buahnya yang anarkis dan memberi bimbingan tak kenal putus untuk menjadikan suporter bola kita menjadi lebih bermartabat. Please, tolonglah berkaca ke Inggris, negara yang telah berhasil menjadikan suporter lebih dewasa dan jauh dari kata hooliganisme. Sementara kepolisian selaku lembaga yang menaungi keamanan lingkungan harus bisa lebih 'mengayomi' organisasi suporter dan memberi pendekatan psikologis. Kalau langsung alergi bola dan suporter ya itu namanya, "Menyelesaikan masalah dengan masalah." Sama halnya ketika menemukan kebocoran di selang yang kita pakai ke kamar mandi, lalu supaya tidak bocor kita tutup krannya, berarti kita tidak bisa menikmati air. Itukah yang kita mau?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar