Sangkaan haruslah selalu disertakan bukti. Tanpa ada bukti, sangkaan akan dianggap fitnah. Bukti tanpa dilandasi syarat yang kuat hanya akan dianggap mengigau....
Rasanya hal itulah yang kini mendera Dahlan Iskan, sang nahkoda Kementerian BUMN. Bola panas mulai menggelinding ketika bergulir temuan inefisiensi PLN yang mencapai 37 triliun saat beliau menjabat Dirut-nya, setelah didapati laporan keuangannya oleh BPK. Dari pandangan saya, saya menghormati BPK karena itu memang tugasnya melakukan audit dan pengawasan terhadap keuangan negara. Saya berharap Dahlan Iskan selaku Dirut PLN waktu itu, juga memberikan klarifikasi yang jelas tentang kenapa terjadi hal tersebut. Memang alasan terjadinya inefisiensi telah beliau paparkan dalam Manufacturing Hope 49: Temuan Inefisiensi yang Mestinya Melebihi Rp 37 Triliun. Tapi secara prosedural bukan hal yang salah kalau DPR menanyakannya lagi, dan itu memang perlu diusut.
Yang menjadi pangkal kisruhnya masalah, Dahlan Iskan dalam waktu bersamaan juga melemparkan isu tentang tukang peras BUMN dari Senayan. Hal ini tentu seolah mencongor hidung para wakil rakyat. Tentu saja ini seperti memperuncing masalah, terkesan beliau panik atau bagaimana, saya tidak tahu. Yang jelas pelemparan isu nama-nama anggota DPR yang tukang peras seolah menjadi tameng dari masalah inefesiensi PLN, atau semacam 'tembakan' yang membabi buta.
Yang saya sayangkan kenapa isu itu dimunculkan saat itu juga. Mungkin bisa saja ada kesalahan kebijakan dari Dahlan Iskan mengenai inefesiensi karena beliau memang akrab dengan kendala protokoler/ birokrasi yang selalu berbenturan dengan langkahnya. Tapi yo mbok yao diselesaikan itu dulu, baru 'nembak' anggota DPR dengan bukti yang konkrit. Walaupun seandainya beliau benar, namun kalau buktinya hanya sekedar "katanya", publik pun akan kecewa. Masalahnya yang dihadapi itu wakil rakyat yang merasa terhormat. Jadi ya seharusnya mesti dihadapi dengan cukup bukti.
Tapi genderang perang terlanjur ditabuh, kadang dukungan dari kanan kiri bisa berarti lain. Semakin banyak yang mbom mbong belum tentu mereka mendukung. Bisa saja mereka tahu kalau apa yang dikatakan beliau buktinya lemah.
Memang benar peribahasa, "Semakin ke atas, semakin kuat angin berhembus", semakin tinggi posisinya makin kuat pula kendala yang dihadapi. Bahkan dalam posisi ini kita hampir tak tahu mana lawan mana kawan.
Dan si ‘manusia sakti’ ini –karena memiliki hati yang baru (baca: liver), semoga tetaplah tegar menjalankan tugasnya dan memperbaiki kinerja BUMN dengan benar dan mencapai profit yang diharapkan. Karena saya sebenarnya berharap banyak pada sosok manusia yang satu ini. Beliau mungkin masih 'hijau' di dunia politik yang kejam ini. Yang benar bisa saja salah, dan yang salah seringkali dianggap benar. Namun, semoga beliau tidak patah arang untuk selalu memperbaiki kinerja BUMN, menegakkan kebenaran, dan memberantas korupsi di negara ini.
Rasanya hal itulah yang kini mendera Dahlan Iskan, sang nahkoda Kementerian BUMN. Bola panas mulai menggelinding ketika bergulir temuan inefisiensi PLN yang mencapai 37 triliun saat beliau menjabat Dirut-nya, setelah didapati laporan keuangannya oleh BPK. Dari pandangan saya, saya menghormati BPK karena itu memang tugasnya melakukan audit dan pengawasan terhadap keuangan negara. Saya berharap Dahlan Iskan selaku Dirut PLN waktu itu, juga memberikan klarifikasi yang jelas tentang kenapa terjadi hal tersebut. Memang alasan terjadinya inefisiensi telah beliau paparkan dalam Manufacturing Hope 49: Temuan Inefisiensi yang Mestinya Melebihi Rp 37 Triliun. Tapi secara prosedural bukan hal yang salah kalau DPR menanyakannya lagi, dan itu memang perlu diusut.
Yang menjadi pangkal kisruhnya masalah, Dahlan Iskan dalam waktu bersamaan juga melemparkan isu tentang tukang peras BUMN dari Senayan. Hal ini tentu seolah mencongor hidung para wakil rakyat. Tentu saja ini seperti memperuncing masalah, terkesan beliau panik atau bagaimana, saya tidak tahu. Yang jelas pelemparan isu nama-nama anggota DPR yang tukang peras seolah menjadi tameng dari masalah inefesiensi PLN, atau semacam 'tembakan' yang membabi buta.
Yang saya sayangkan kenapa isu itu dimunculkan saat itu juga. Mungkin bisa saja ada kesalahan kebijakan dari Dahlan Iskan mengenai inefesiensi karena beliau memang akrab dengan kendala protokoler/ birokrasi yang selalu berbenturan dengan langkahnya. Tapi yo mbok yao diselesaikan itu dulu, baru 'nembak' anggota DPR dengan bukti yang konkrit. Walaupun seandainya beliau benar, namun kalau buktinya hanya sekedar "katanya", publik pun akan kecewa. Masalahnya yang dihadapi itu wakil rakyat yang merasa terhormat. Jadi ya seharusnya mesti dihadapi dengan cukup bukti.
Tapi genderang perang terlanjur ditabuh, kadang dukungan dari kanan kiri bisa berarti lain. Semakin banyak yang mbom mbong belum tentu mereka mendukung. Bisa saja mereka tahu kalau apa yang dikatakan beliau buktinya lemah.
Memang benar peribahasa, "Semakin ke atas, semakin kuat angin berhembus", semakin tinggi posisinya makin kuat pula kendala yang dihadapi. Bahkan dalam posisi ini kita hampir tak tahu mana lawan mana kawan.
Dan si ‘manusia sakti’ ini –karena memiliki hati yang baru (baca: liver), semoga tetaplah tegar menjalankan tugasnya dan memperbaiki kinerja BUMN dengan benar dan mencapai profit yang diharapkan. Karena saya sebenarnya berharap banyak pada sosok manusia yang satu ini. Beliau mungkin masih 'hijau' di dunia politik yang kejam ini. Yang benar bisa saja salah, dan yang salah seringkali dianggap benar. Namun, semoga beliau tidak patah arang untuk selalu memperbaiki kinerja BUMN, menegakkan kebenaran, dan memberantas korupsi di negara ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar