Beberapa pekan terakhir, kita seolah tergiring oleh media dengan topik pencaplokan seni budaya dan wilayah Indonesia yang dilakukan oleh Malaysia. Seperti kasus tari pendet, lagu kebangsaan Malaysia yang diduga menjiplak, dan pemasukan nama Pulau Jemur dalam iklan wisata Malaysia.
Beberapa saat yang lalu Malaysia juga mengklaim Reog (mereka menyebutnya Barongan) adalah salah satu budaya khasnya. Kemudian mengakui angklung sebagai budayanya walaupun notabene angklung adalah budaya khas sunda (Jawa Barat) Indonesia. Belum ditambah lagi kasus perebutan Pulau Ambalat, pelanggaran garis batas laut oleh patroli Diraja Malaysia, perebutan masakan Rendang, pematenan wayang, batik parang rusak dan lain sebagainya.
Saya melihat ternyata respon masyarakat Indonesia cukup meluap-luap dan emosional. Mulai dari membakar symbol-simbol Malaysia dan benderanya, meretas website berdomain Malaysia (my), hingga mencetuskan perlawanan ganyang Malaysia. Hebat! Kalau sudah seperti ini ‘kan nyatanya bangsa Indonesia bisa kompak, bersatu melawan musuh yang sama. Tapi tunggu dulu! Sebenarnya itu semua tak cukup, adanya hal seperti ini justru ‘seharusnya’ membuka kembali wawasan kita, mengingatkan kita akan sesuatu hal, yaitu nasionalisme.
Perbatasan Wilayah
Indonesia, dimana mempunyai wilayah yang sangat luas membentang dari barat ke timur, dari Sabang (Nangro Aceh Darussalam) hingga ke Merauke (Papua). Juga terbentang luas dari utara menuju selatan melewati Khatulistiwa, dari Miangas (Kep. Talaud, Sulut) hingga Pulau Rote (NTT). Wilayah Indonesia pun berbatasan dengan banyak negara antara lain Singapura, Malaysia, Filipina, Australia, dan Papua Nugini. Berbagai suku, adat, dan budaya mewarnai keanekaragaman bangsa Indonesia. Belum ditambah kekayaan mineral yang melimpah serta hutan hujan tropis yang rimbun dan banyak (dulunya sih, sekarang banyak digantikan kelapa sawit). Kita memang harus bangga sebagai bangsa Indonesia. Tapi mungkin kebanggaan itu hanya berlaku sejak awal periode kemerdekaan sampai tahun 1980-an. Setelah itu apa yang patut kita banggakan dari nasionalisme itu?
Harta dan kekayaan sumber daya hayati telah dirampas sendiri oleh bangsanya sendiri, yang memiliki kekuasaan. Yang berkuasa memiliki kewenangan untuk ‘memberdayakan’ sumber daya alam ini, dimana jatuhnya juga ke tangan asing. Parahnya, keuntungan itu tak menjadi milik Negara, melainkan kroni penguasa. Seperti halnya pepatah homo homini lupus, sing kuwat sing rumongso, atau lebih jelasnya yang kuat menindas yang lemah.
Tapi itu sudah terjadi, kita tidak perlu menyesalinya, anggap itu sejarah kelam Indonesia. Seharusnya kita sebagai generasi selanjutnya yang mengemban maju mundurnya negara harus mulai menata kembali negara Indonesia ini, jangan malah ikut memperburuk perekonomian bangsa dengan melestraikan budaya korupsi serta perusakan-perusakan kekayaan negara lainnya. Masalahnya sesungguhnya adalah terletak pada saudara sebangsa kita yang duduk di Pemerintahan. Bisakah Pemerintah bersikap adil pada rakyatnya sendiri?
Coba mari lihat saudara-saudara ‘kita’ (kalau anda masih menganggapnya saudara) yang ada di tepi batas Negara ini. Seperti di Kepulauan Talaud, di Kepulauan Sebatik, di pulau Natuna, di Entikong, atau di Papua. Andaikata kita yang hidup di sana, masihkah kita merasakan merah putih berkibar di hati kita? Saya rasa orang yang mengeluarkan slogan seperti ini, "Jangan biarkan bangsa asing merebut tanah air kita barang sejengkalpun!" adalah orang yang sesat dan tidak berpikir luas. Coba orang itu ditaruh saja di salah satu tempat itu selama tiga tahun tanpa bisa pulang ke asalnya lalu kemudian tanya masih adakah merah putih dihatinya, jika ternyata negara lain di perbatasan lebih memberikan perhatian kepada penduduk sekitarnya daripada negara kita tercinta ini.
Lantas untuk apa mati-matian mempertahankan wilayah perbatasan jika hanya di biarkan tak terurus. Kehidupan masyarakat disana pas-pasan, dimana kebutuhan primer rakyat tak terpenuhi, andaikata ada itupun harus sabar menunggu datangannya dan yang jelas mahal. Harus diapakan lagi Pemerintah supaya telinganya lebih peka, supaya bisa mendengar penderitaan saudara-saudara kita? Opo disogrok wae kupinge nggawe tugu pahlawan? Kadangkala mereka sepertinya lepas tangan (kalau tidak mau dibilang tidak mau tahu) dan seolah mengandalkan Pemerintah Daerah untuk menangani itu semua. Padahal itu bukanlah tugas mudah untuk membuat kebutuhan perekonomian terpenuhi. Jadi apa salahnya kalau ternyata warga sekitar sana lebih memilih wilayahnya dicaplok negara lain yang bisa memberikan kesejahteraan daripada makan hati dengan memegang teguh nasionalisme? Itu selama Pemerintah kita masih menganggap daerah perbatasan adalah bagian belakang rumah, bukan menganggapnya sebagai halaman depan rumah kita.
Kebudayaan Indonesia
Nasib serupa dialami para pelestari budaya Indonesia, seniman seperti kurang mendapat apresiasi dari Pemerintah. Padahal untuk memikat turis asing datang ke negara ini, Pemerintah seharusnya serius dan pandai mengelola sector wisata ini sebagai industri. Mulai dari membenahi hulu ke hilir, yakni dimulai dari daerah wisata, pelestarian kebudayaan daerah tersebut, sarana, dan prasarana, agen perjalanan, hingga promosi wisata besar-besaran melalui media informasi yang tepat. Sangat banyak investor yang berminat menggarap industri pariwisata kita, masalahnya Pemerintah tidak melihat peluang itu. Bandingkan dengan Malaysia dengan program Malaysia is truly Asia-nya.
Bangsa kita lebih beranekaragam budayanya mulai budaya Melayu (Sumatera), Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Bali, dan lain sebagainya. Selain itu kita juga memiliki berbagai macam etnis pendatang seperti Arab, India, China, dan lainnya. Lengkap sudah, sebenarnya yang lebih pantas menyandang Truly Asia adalah kebudayaan Indonesia, justru lebih menarik ‘dijual’ ke negara lain daripada Malaysia atau Singapura.
Sekali lagi ya, karena Pemerintahan kita masih merem, eh tidak sih… mungkin tidak melihatnya. Andai negara ini ‘lebih’ peduli tentu kekayaan budaya ini sudah dipatenkan dan didaftarkan semua ke UNESCO. Tidak seperti sekarang ini, ketika ada negara lain yang ingin ‘melestarikan’ budaya kita -yang kita mungkin tak sadar kalau ternyata itu milik Indonesia- justru kita maki habis-habisan. Padahal, setelah mati-matian mempertahankan budaya tersebut, apa sih yang diperbuat Pemerintah? Melestarikan dan ‘menjualnya’ dalam event pariwisata kita, mendaftarkannya ke UNESCO, atau bagaimana? Sejauh ini saya tidak melihat langkah kongkrit Pemerintah untuk mewujudkan industri pariwisata nomor satu di Asia. Semoga Pemerintah lebih menghargai semangat nasionalisme rakyatnya sendiri, jangan malah mengkhianati merah putih hatinya rakyat Indonesia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Angklung, batik, keris, dan kini tari pendet. Apa sih tindakan riil Pemerintah untuk nyelamatin budaya bangsa? Ane gak faham otak Pemerintah itu ditaruh mana sih...
BalasHapus