Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

17 Maret 2010

Menghargai Perbedaan Agama & Euforia Pluralisme Kebablasan

Bicara tentang pluralisme tak bisa dilepaskan dari sosok yang bernama Abdurrahman Wahid atau lebih dikenal dengan nama Gus Dur. Sosok kyai yang pernah jadi Presiden Indonesia sangat lekat dengan isu-isu kontroversial. Satu hal berharga yang pernah dilakukannya di Indonesia adalah membebaskan etnis China merayakan imlek dan hari besar keagamaannya, serta tidak membatasi agama di Indonesia hanya sebatas lima saja. Mulai pada era Gus Dur, 'seolah' kran pluralisme dibuka lebar-lebar, euforia tentu melanda kaum-kaum yang selama merasa terjepit posisinya.

Perayaan tahun baru Imlek, dan perayaan Cap Gomeh yang dulu tidak semeriah ini kemudian latah menjadi euforia di seluruh tanah air. Tentu saja kiranya tak berlebihan kalau etnis China (Tionghoa) di Indonesia menjadikan Gus Dur sebagai bapak pluralisme.

Namun seiring gelombang pluralisme yang melanda, timbul suatu renovasi agama yang membentuk pada aliran agama baru, sebut saja contohnya Ahmadiyah. Agama yang mengambil intisari ajaran agama islam namun direkonstruksi dengan kaidah-kaidah yang sesungguhnya menyalahi Islam sendiri. Celakanya Gus Dur dan pengikutnya, -yang selalu berkata opo jare Gus Dur, kok malah ikut-ikutan membela agama yang malah merusak Islam itu sendiri. Akibatnya jelas, bentrok fisik pasti sering terjadi dari kalangan yang Islam konservatif dengan golongan pembaharuan yang mengusung isu pluralisme. Dari sinilah saya mulai mempertanyakan apa sih sebenarnya pluralisme itu?

Di agama Islam mengajarkan, "agamaku adalah agamaku, agamamu adalah agamamu". Artinya sebenarnya dalam kaidah beragama, Islam sangat menghargai perbedaan agama lain. Namun Islam punya aturan sendiri, begitu pula dengan agama lain pasti memiliki kaidah tersendiri. Tak mungkin orang Islam menjalankan perintah-perintah agama lain begitu pula sebaliknya. Hal-hal yang bersentuhan dengan nilai-nilai keagamaan sebaiknya menjadi urusan penganut agama itu sendiri dengan penciptanya. Dan tidak melibatkan orang lain yang bukan kaumnya dalam suatu hal yang berbau keagamaan.

Benar, saya sendiri sangat menghargai suatu perbedaan agama, saya juga merasa aman dan tenang-tenang saja selama kita bisa menjalankan ibadah dengan nyaman tak mengganggu pihak lain maupun diganggu pihak lain. Begitu pula ketika tetangga mengadakan puja-pujian dekat lingkungan kami selama tertib dan tak mengganggu maka kamipun merasa tenang dan biasa saja. Ya, pada dasarnya yang diperlukan dalam kehidupan umat beragama adalah saling toleransi dengan bertanggungjawab pada umat lain. Arti toleransi yang bertanggungjawab adalah toleransi yang bisa diterima secara logis oleh agamanya dan agama orang lain, jadi bukan terpaksa.

Ketika isu pluralisme diagung-agungkan dengan seolah kita harus melebur dan memperingati perayaan agama, yang bukan agamanya itu adalah salah. Kalau secara kimiawi ini seperti memasukkan unsur pada materi yang bertentangan dengan unsur tersebut. Jadi ketika kita sudah bersentuhan dengan kata-kata yang merupakan bagian dari suatu acara keagamaan agama lain itu sudah menunjukkan terjadinya salah kaprah penghargaan agama lain.

Kalau seseorang yang beragama nasrani berkunjung di rumah temannya yang muslim di hari raya Idul Fitri untuk silaturahmi itu bukan hal yang salah. Begitu pula sebaliknya ketika seorang muslim mengunjungi temannya yang Nasrani untuk silaturahmi di hari natal. Semua berulang pada niatannya.....

Coba kita lihat kondisi negara Indonesia sekarang ini? Apa yang terjadi? Kadangkala masyarakat kita sekarang terjebak dengan kondisi yang 'abu-abu'. Sehingga turut 'larut' dalam perayaan agama umat lain. Kalau sudah seperti ini siapa yang patut menegur? Ketika para pemimpin agama saling adu argumentasi dan umat makin larut dalam koridor pluralisme yang campur aduk, Ini benar dan itu juga benar. Lalu dimanakah letak akidah dari suatu agama? Jalan menuju surga, mungkin berbeda-beda tapi kita punya jalan sendiri yang kita yakini. Ya sudah turuti aturan main dan ikuti! Kalaupun ada ajaran lain yang menyatakan "Boleh", tapi kalau ajaran yang anda yakini mengatakan "Tidak". Ya.. sudah, yang jelas pluralisme bukanlah upaya pencampuradukan agama. "Lakum Diinukum wa Liya Diin", "Bagimu agamamu, bagiku agamaku"... ikutilah!

Kalau semuanya sudah dicampuradukan, masihkah pluralisme masih tepat dianggap sebagai penghargaan perbedaan agama?

1 komentar:

  1. Orang yang mengatakan orang lain 'goblok'..., sepertinya gak akan jauh beda tuh.... Bagaimana orang lain tidak sentimen terhadap anda, jika anda sendiri masih sentimen sama orang atau keadaan (bukan hanya agama). Selamat menikmati zaman yang plural ini saudara, dimana urusan makhluk dan Khaliq adalah murni urusan manusia masing-masing. Anda tidak akan dimintai tanggung jawab atas apa yg dilakukan orang lain terhadap Tuhannya.... Salam damai....

    BalasHapus