Pada akhir Agustus 2009, ada sesuatu fatwa yang cukup bombastis (mengejutkan) yang dikeluarkan (lagi) oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia). Yaitu fatwa haram untuk mengemis. Seperti kita ketahui keputusan ini dikeluarkan oleh MUI Sumenep, Madura, Jawa Timur. Putusan MUI Sumenep tersebut lantas diamini (mendapat dukungan) dari MUI Pusat.
Seperti yang saya cuplik dari detikcom, ada wawancara dengan Ketua Komisi Fatwa MUI, Anwar Ibrahim.
"Sudah bertahun-tahun kita mengimbau untuk tidak pernah menyetujui pengemis-pengemis itu. Bukan hanya Ramadan saja, tapi seterusnya juga. Adanya fatwa haram tersebut diharapkan agar masyarakat yang biasa mengemis jera sehingga mereka tidak bermalas-malasan. Mengemis itu menjadikan diri hina dan merugikan orang lain. Islam sendiri dikatakan sudah secara tegas melarang kegiatan mengemis karena termasuk bermalas-malasan."
Sebagai manusia yang masih punya hati nurani apalagi sebagai umat muslim, saya juga pasti selalu merasa iba apabila ada seorang pengemis bertubuh lusuh, kurus, apalagi cacat atau masih kecil meminta-minta uang di pinggir jalan. Spontan, selagi saya masih ‘punya’ uang pasti saya memberikannya barang sedikit. Apa salahnya kita bersedekah kepada mereka bahkan itu adalah kewajiban kita berbuat amal sholeh dan membantu orang fakir miskin. Didalam harta kita juga terkandung hak-hak mereka.
Dan saya rasa memberi bantuan kepada orang lain itu, tidak salah bahkan berpahala (insya Allah), tergantung faidah hasil pemberian orang tersebut. Namun di jaman sekarang ini, pengemis itu sangat beragam visi dan misinya. Dan ini tak bisa dipukul rata.
Masalah ini timbul dikarenakan MUI telah mengeluarkan fatwa haram. Ingat kita tak bisa bermain-main dengan kata-kata halal dan haram sak penake udele dhewe, alias sesuka hati. Padahal perbuatan haram adalah sebuah status hukum terhadap suatu aktivitas atau tindakan, yang dilarang secara keras oleh Allah dimana orang yang melakukan tindakan haram tersebut akan mendapatkan konsekuensi berupa dosa. Artinya secara tidak langsung, bahwa setiap orang yang mengemis adalah berdosa dan diancam masuk neraka oleh Allah. Naudzubillah!
Padahal setahu saya MUI terdiri dari kumpulan orang-orang Islam yang hebat, kumpulan ulama Islam, pemimpin agama yang jelas-jelas melek agama dan paling berilmu diantara umat. Menurut saya, dengan memfatwakan mengemis itu haram berarti seakan menjadikan pikiran mereka itu dangkal, jika hanya tujuannya agar umat tidak bermalas-malasan dan jera, lha kok sampai diancam neraka segala. Ini kan sudah gak bener? Seharusnya kita lihat dulu akar permasalahannya mengapa mereka ini menjadi pengemis. Jangan langsung dipukul rata sehingga lantas kita malah bisa mendzolimi ajaran agama Islam itu sendiri.
Pada intinya, yang saya ketahui ada beberapa jenis pengemis disini, yaitu:
1.Pengemis yang melakukan pekerjaan ini karena ‘merasa’ tak bisa mendapatkan pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dikarenakan kondisi fisiknya yang renta, lemah atau cacat.
2.Pengemis yang melakukan pekerjaan ini karena ‘merasa’ dengan mengemis mereka bisa lebih cepat memenuhi kebutuhannya (mendapatkan uang) daripada bekerja keras padahal tubuh (fisik) mereka mampu (tidak lemah). Sehingga lantas mengemis dijadikan sebuah profesi.
3.Pengemis yang melakukan pekerjaan ini karena ‘merasa’ mengemis adalah pekerjaan turun temurun yang harus dilestarikan.
Nah, kategori nomor dua dan tiga ini mungkin bisa masuk (berlaku) fatwa haram. Masalahnya bagaimana kita membeda-bedakan pengemis seperti kategori di atas?
Mengemis artinya mengharapkan belas kasih orang lain untuk mendapatkan sesuatu (biasanya berupa uang atau makanan). Namun sesungguhnya mengemis itu dapat timbul karena lemahnya kontrol pemerintah dan publik pada jaring pengaman sosial. Saya sampai heran bagaimana cara Pemerintah mengelola keuangannya sekarang ini hingga kok masih ditemukannya pengemis. Katanya ada Departemen Sosial apalagi ada banyak sekali badan-badan penyalur zakat, belum lagi LSM-LSM yang didirikan untuk mengatasi kemiskinan. Maka seharusnya di negara kita tidak ada orang yang mengemis, iya toh! Benar, tapi itu semua cuma teori.
Pada kenyataannya fungsi lembaga sosial, dinas sosial, ataupun lembaga penyaluran zakat tak berjalan seperti semestinya. Seharusnya dengan jumlah penduduk muslim yang mencapai 83 persen populasi bangsa Indonesia, MUI bisa membuat fatwa yang lebih produktif, seperti mewajibkan seluruh umat muslim yang mampu untuk mengeluarkan zakat pendapatan 2.5 persen setiap bulannya. Namun hal ini harus didukung sarana dan prasarana yang memadai, kalau bisa satu wadah koordinator sehingga distribusi pembagian dana zakatnya lebih terstruktur.
Sementara Pemerintah melalui Dinas Sosial melalui program BLT-nya tampak kurang mengena sasarn yang dituju, sehingga program seperti ini justru sama saja membuat malas masyarakat. Artinya Pemerintahan telah gagal menuju titik sasaran, juga MUI terlalu tergesa-gesa memfatwakan haram mengemis, tanpa melihat kehidupan umat dan tidak bisa selaras dengan Pemerintah.
Sebenarnya menurut aturan sebelumnya mengemis itu perbuatan halal, dan jauh lebih mulya daripada merampok, mencuri dan lain sebagainya. Dan Nabi juga pernah bersabda, "Bahwa tangan di atas lebih mulya daripada tangan yang di bawah."
Namun yang terpenting di era seperti ini adalah membangkitkan kepekaan sosial pada tetangga di sekitar kita, agar tiada orang miskin dan pengemis di lingkungan tempat tinggal kita.
Seperti yang saya cuplik dari detikcom, ada wawancara dengan Ketua Komisi Fatwa MUI, Anwar Ibrahim.
"Sudah bertahun-tahun kita mengimbau untuk tidak pernah menyetujui pengemis-pengemis itu. Bukan hanya Ramadan saja, tapi seterusnya juga. Adanya fatwa haram tersebut diharapkan agar masyarakat yang biasa mengemis jera sehingga mereka tidak bermalas-malasan. Mengemis itu menjadikan diri hina dan merugikan orang lain. Islam sendiri dikatakan sudah secara tegas melarang kegiatan mengemis karena termasuk bermalas-malasan."
Sebagai manusia yang masih punya hati nurani apalagi sebagai umat muslim, saya juga pasti selalu merasa iba apabila ada seorang pengemis bertubuh lusuh, kurus, apalagi cacat atau masih kecil meminta-minta uang di pinggir jalan. Spontan, selagi saya masih ‘punya’ uang pasti saya memberikannya barang sedikit. Apa salahnya kita bersedekah kepada mereka bahkan itu adalah kewajiban kita berbuat amal sholeh dan membantu orang fakir miskin. Didalam harta kita juga terkandung hak-hak mereka.
Dan saya rasa memberi bantuan kepada orang lain itu, tidak salah bahkan berpahala (insya Allah), tergantung faidah hasil pemberian orang tersebut. Namun di jaman sekarang ini, pengemis itu sangat beragam visi dan misinya. Dan ini tak bisa dipukul rata.
Masalah ini timbul dikarenakan MUI telah mengeluarkan fatwa haram. Ingat kita tak bisa bermain-main dengan kata-kata halal dan haram sak penake udele dhewe, alias sesuka hati. Padahal perbuatan haram adalah sebuah status hukum terhadap suatu aktivitas atau tindakan, yang dilarang secara keras oleh Allah dimana orang yang melakukan tindakan haram tersebut akan mendapatkan konsekuensi berupa dosa. Artinya secara tidak langsung, bahwa setiap orang yang mengemis adalah berdosa dan diancam masuk neraka oleh Allah. Naudzubillah!
Padahal setahu saya MUI terdiri dari kumpulan orang-orang Islam yang hebat, kumpulan ulama Islam, pemimpin agama yang jelas-jelas melek agama dan paling berilmu diantara umat. Menurut saya, dengan memfatwakan mengemis itu haram berarti seakan menjadikan pikiran mereka itu dangkal, jika hanya tujuannya agar umat tidak bermalas-malasan dan jera, lha kok sampai diancam neraka segala. Ini kan sudah gak bener? Seharusnya kita lihat dulu akar permasalahannya mengapa mereka ini menjadi pengemis. Jangan langsung dipukul rata sehingga lantas kita malah bisa mendzolimi ajaran agama Islam itu sendiri.
Pada intinya, yang saya ketahui ada beberapa jenis pengemis disini, yaitu:
1.Pengemis yang melakukan pekerjaan ini karena ‘merasa’ tak bisa mendapatkan pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dikarenakan kondisi fisiknya yang renta, lemah atau cacat.
2.Pengemis yang melakukan pekerjaan ini karena ‘merasa’ dengan mengemis mereka bisa lebih cepat memenuhi kebutuhannya (mendapatkan uang) daripada bekerja keras padahal tubuh (fisik) mereka mampu (tidak lemah). Sehingga lantas mengemis dijadikan sebuah profesi.
3.Pengemis yang melakukan pekerjaan ini karena ‘merasa’ mengemis adalah pekerjaan turun temurun yang harus dilestarikan.
Nah, kategori nomor dua dan tiga ini mungkin bisa masuk (berlaku) fatwa haram. Masalahnya bagaimana kita membeda-bedakan pengemis seperti kategori di atas?
Mengemis artinya mengharapkan belas kasih orang lain untuk mendapatkan sesuatu (biasanya berupa uang atau makanan). Namun sesungguhnya mengemis itu dapat timbul karena lemahnya kontrol pemerintah dan publik pada jaring pengaman sosial. Saya sampai heran bagaimana cara Pemerintah mengelola keuangannya sekarang ini hingga kok masih ditemukannya pengemis. Katanya ada Departemen Sosial apalagi ada banyak sekali badan-badan penyalur zakat, belum lagi LSM-LSM yang didirikan untuk mengatasi kemiskinan. Maka seharusnya di negara kita tidak ada orang yang mengemis, iya toh! Benar, tapi itu semua cuma teori.
Pada kenyataannya fungsi lembaga sosial, dinas sosial, ataupun lembaga penyaluran zakat tak berjalan seperti semestinya. Seharusnya dengan jumlah penduduk muslim yang mencapai 83 persen populasi bangsa Indonesia, MUI bisa membuat fatwa yang lebih produktif, seperti mewajibkan seluruh umat muslim yang mampu untuk mengeluarkan zakat pendapatan 2.5 persen setiap bulannya. Namun hal ini harus didukung sarana dan prasarana yang memadai, kalau bisa satu wadah koordinator sehingga distribusi pembagian dana zakatnya lebih terstruktur.
Sementara Pemerintah melalui Dinas Sosial melalui program BLT-nya tampak kurang mengena sasarn yang dituju, sehingga program seperti ini justru sama saja membuat malas masyarakat. Artinya Pemerintahan telah gagal menuju titik sasaran, juga MUI terlalu tergesa-gesa memfatwakan haram mengemis, tanpa melihat kehidupan umat dan tidak bisa selaras dengan Pemerintah.
Sebenarnya menurut aturan sebelumnya mengemis itu perbuatan halal, dan jauh lebih mulya daripada merampok, mencuri dan lain sebagainya. Dan Nabi juga pernah bersabda, "Bahwa tangan di atas lebih mulya daripada tangan yang di bawah."
Namun yang terpenting di era seperti ini adalah membangkitkan kepekaan sosial pada tetangga di sekitar kita, agar tiada orang miskin dan pengemis di lingkungan tempat tinggal kita.
tiap pagi, kalau keluar dari stasiun sudirman, hampir selalu melihat dua wajah perempuan: satunya tua, sedang satunya agak muda sambil menggendong bayi.
BalasHapustak jauh dari situ, di jembatan penyeberangan Bendungan Hilir, terduduk lemas seorang invalid. Atau kadang-kadang seorang perempuan.
bagi mereka, meminta sudah menjadi ketergantungan.
Ini di ibu kota. Pusat perputaran uang. Lha bagaimana kalau di daerah ?
dimanakah Depsos ? padahal setiap kita beli barang, kita selalu bayar PPN. Rakyat juga bayar PBB, NPWP, dan lain-lain. Dikemanakan uang rakyat itu ?
Fatwa ini bisa diterapkan kalo negara sudah memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar. kenyataannya, jauh panggang dari api. Untuk apa pajak kita?
BalasHapus