Hmm... habis baca-baca berita, jadinya cuma bisa ngucap istighfar saja. Gara-garanya terjadi lagi peristiwa yang sangat memalukan. Kenapa saya bilang memalukan karena ini terjadi di Indonesia, apalagi pelakunya juga mengaku memeluk agama Islam.
Kali ini pelakunya bernama, Agus Wardoyo yang nekad berganti jenis kelamin jadi wanita yang sekarang bernama Dea (Nadia). Sistem Pengadilan Indonesia di kabupaten Batang pun akhirnya mengesahkan dia jadi wanita. Wah... wah pengadilan sok jadi Tuhan nih? Gak bener ini. Tapi saya paham, masalahnya nih kasus bukan kali pertama terjadi di Indonesia. Jauh tahun 1970-an seseorang yang bernama Vivian Rubianto telah melakukannya. Jadi mungkin saja pengadilan tinggi Indonesia cuma refer to .... saja. Kok ya, gak ada improve gitu lho.
Lalu mengapa Majelis Ulama Indonesia tidak bertindak? Sebenarnya sudah, bahkan saya respek melihat MUI menanggapi. Melalui wakilnya, KH Ali Mustafa Ya'kub dengan tegas menyatakan bahwa merubah status gender itu haram hukumnya. Lha wong orang laki-laki pakai pakaian atau meniru gaya wanita itu sudah haram apalagi merubah kelamin. Masya Allah! Tapi suara keras MUI itu sayangnya seakan-akan cuma membentur tembok hukum Indonnesia tak bisa menggelitik telinga pemerintahan.
Hehehe.... sebenarnya saya sendiri kasihan lihat MUI, sepertinya nggak punya taring di negeri ini. Maklum di negara yang mengaku demokrasi, republik, bukan negara Islam, dan berdiri di atas hukum. Ternyata justru dimanfaatkan menjadi tameng oleh umat-umat Islam yang nambeng, mbalela pada agamanya sendiri. Dengan berlindung di atas negara hukum, kesetaraan gender, HAM, apalah... waduh piye karepe? Diatur para ulama saja susah, lalu apa sebenarnya sih yang dicari?
Menurut si Agus eh... Nadia seh, bahwa dia merasa selama ini jiwanya ini terperangkap pada tubuh seorang laki-laki padahal sebenarnya dia itu lemah lembut dan merasa wanita. Hahaha... lucu-lucu, sik tak ngguyu sampai terpingkal-pingkal. Coba berpikir, sifat yang diturunkan itu sebagian besar fisikal, sedangkan yang bersifat emosional itu dibentuk dari pergaulan dan lingkungannya.
Para dokter kandungan kayaknya sepakat sama saya, lha wong untuk tahu di USG bayi itu berjenis kelamin wanita atau laki-laki itu kan dilihat dari kelaminnya. Wah...wah lha ini kok nyalahi kodrat.
Sebenarnya sih aku sebagai umat Islam juga pingin njewer orang-orang yang diajak lurus susah, tapi kan MUI seharusnya punya kekuatan untuk itu paling tidak menekan DPR dan Presiden, untuk dibentuk Undang-Undang Syariah yang ngatur kehidupan umat Islam itu sendiri dan tidak overlapping dengan hukum Indonesia yang kacau ini.
Ya... mungkin ini tanda-tanda akhir zaman yang tak bisa dicegah, jadi selamat datang akhir zaman.
Kali ini pelakunya bernama, Agus Wardoyo yang nekad berganti jenis kelamin jadi wanita yang sekarang bernama Dea (Nadia). Sistem Pengadilan Indonesia di kabupaten Batang pun akhirnya mengesahkan dia jadi wanita. Wah... wah pengadilan sok jadi Tuhan nih? Gak bener ini. Tapi saya paham, masalahnya nih kasus bukan kali pertama terjadi di Indonesia. Jauh tahun 1970-an seseorang yang bernama Vivian Rubianto telah melakukannya. Jadi mungkin saja pengadilan tinggi Indonesia cuma refer to .... saja. Kok ya, gak ada improve gitu lho.
Lalu mengapa Majelis Ulama Indonesia tidak bertindak? Sebenarnya sudah, bahkan saya respek melihat MUI menanggapi. Melalui wakilnya, KH Ali Mustafa Ya'kub dengan tegas menyatakan bahwa merubah status gender itu haram hukumnya. Lha wong orang laki-laki pakai pakaian atau meniru gaya wanita itu sudah haram apalagi merubah kelamin. Masya Allah! Tapi suara keras MUI itu sayangnya seakan-akan cuma membentur tembok hukum Indonnesia tak bisa menggelitik telinga pemerintahan.
Hehehe.... sebenarnya saya sendiri kasihan lihat MUI, sepertinya nggak punya taring di negeri ini. Maklum di negara yang mengaku demokrasi, republik, bukan negara Islam, dan berdiri di atas hukum. Ternyata justru dimanfaatkan menjadi tameng oleh umat-umat Islam yang nambeng, mbalela pada agamanya sendiri. Dengan berlindung di atas negara hukum, kesetaraan gender, HAM, apalah... waduh piye karepe? Diatur para ulama saja susah, lalu apa sebenarnya sih yang dicari?
Menurut si Agus eh... Nadia seh, bahwa dia merasa selama ini jiwanya ini terperangkap pada tubuh seorang laki-laki padahal sebenarnya dia itu lemah lembut dan merasa wanita. Hahaha... lucu-lucu, sik tak ngguyu sampai terpingkal-pingkal. Coba berpikir, sifat yang diturunkan itu sebagian besar fisikal, sedangkan yang bersifat emosional itu dibentuk dari pergaulan dan lingkungannya.
Para dokter kandungan kayaknya sepakat sama saya, lha wong untuk tahu di USG bayi itu berjenis kelamin wanita atau laki-laki itu kan dilihat dari kelaminnya. Wah...wah lha ini kok nyalahi kodrat.
Sebenarnya sih aku sebagai umat Islam juga pingin njewer orang-orang yang diajak lurus susah, tapi kan MUI seharusnya punya kekuatan untuk itu paling tidak menekan DPR dan Presiden, untuk dibentuk Undang-Undang Syariah yang ngatur kehidupan umat Islam itu sendiri dan tidak overlapping dengan hukum Indonesia yang kacau ini.
Ya... mungkin ini tanda-tanda akhir zaman yang tak bisa dicegah, jadi selamat datang akhir zaman.
Masalah ini memang cukup kompleks, di satu sisi memang sesungguhnya sangat sulit sekali untuk menghindari perasaan atau sifat yang dominan. Namun bagaimanapun juga saya percaya jika kita sebagai makhluk ciptaan-Nya sesungguhnya diberi kemampuan untuk mengendalikan perasaan kita sendiri. Jika merasa tak mampu untuk mengendalikannya, maka saya rasa pendekatan diri kepada Sang Pencipta adalah jawabannya.
BalasHapusBuat Blog