Pengusaha wartel sedang kurang beruntung. Setelah pernah jadi primadona, wartel nasibnya kini seperti TV hitam-putih. Uang air time pun ditahan operator dengan berlindung pergantian aturan.
Forum Penyelamat Wartel, pekan lalu, mendemo kantor XL, Indosat, Telkom, dan Kemenkominfo. Mereka menuntut pembayaran pelunasan biaya hak air time sebesar Rp54 miliar. Tapi operator berkilah bahwa tagihan itu masih belum jelas karena pergantian aturan.
Tunggakan air time muncul karena pergantian aturan dari Keputusan Menteri No 46 Tahun 2002 menjadi Peraturan Menteri No 5 Tahun 2006 yang memunculkan sistem interkoneksi berbasis biaya. Akibat pergantian aturan itu, biaya air time dihapus, tapi Asosiasi Pengusaha Wartel Indonesia (APWI) menilai masih ada tunggakan berdasarkan surat keputusan Dirjen Postel No 10/2008.
"Berdasarkan pasal 22 dengan berlakunya Peraturan Menteri No 5 Tahun 2006 bahwa ada pergantian ke biaya interkoneksi, walaupun ditetapkan pada awal 2006 tetapi dalam waktu satu tahun bisa disesuaikan, penerapannya baru awal 2007 sehingga masih terhitung untuk tahun 2006,” ujar Ketua APWI Srijanto Tjokrosudarmo.
Berdasarkan hitungan Telkom, menurut Srijanto tunggakan yang masih harus dibayar operator berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan No 46 Tahun 2002 dan Peraturan Menteri No 5 Tahun 2006 adalah sebesar Rp 54 miliar. Telkomsel memiliki tunggakan Rp37 miliar (68,4%), Indosat Rp12,1 miliar (22,3%), XL Rp4,17 miliar (7,7%), Mobile-8 Rp729 juta (1,4%), Smart Telecom Rp75 juta (0,1%) dan Natrindo (Axis) Rp 5 juta (0,01%).
Dihubungi terpisah, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) menyatakan sedang mengkaji. “Sebenarnya masih terdapat masalah hukum di antara operator dan Asosiasi Pengusaha Wartel Indonesia (APWI) untuk perhitungan tanggal 1 Januari 2006 hingga 1 Januari 2007 karena di sana terjadi perubahan peraturan yakni dari Keputusan Menteri No 46 Tahun 2002 menjadi Peraturan Menteri No 5 Tahun 2006 yang tidak lagi mengatur biaya hak air time,” ujar Anggota BRTI Heru Sutadi.
Heru mengatakan BRTI sebagai regulator akan menjadi penengah dengan mengusahakan pertemuan pekan ini menyangkut jumlah, mekanisme dan periode waktu pembayaran.
“Kami akan berusaha adil kepada semua pihak yang terlibat yakni Asosiasi Pengusaha Wartel Indonesia, Telkom dan enam operator yang terlibat penunggakan pembayaran,” kata Heru.
Head of Corporate Communications PT Natrindo Telepon Selule (Axis), Anita Avianty menegaskan Axis memiliki iktikad baik secara musyawarah mufakat untuk menyelesaikan masalah air time.
"Memang sudah ada beberapa kali pertemuan antara Asosiasi Pengusaha Wartel Indonesia (APWI) dan operator untuk membahas biaya air time, namun sayangnya belum tercapai titik temu mengenai jumlah, mekanisme, dan periode kewajiban pembayaran,” ujarnya.
Head of Corporate Communication XL Axiata Febriati Nadira menyatakan hal senada. XL bersedia membayar kewajiban selama ada perhitungan dan jumlah yang jelas dan dikeluarkan oleh pihak berwenang yaitu Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).
"Hal ini telah kami bahas dengan BRTI dan sepakat untuk mendapatkan penetapan dari BANI mengenai jumlah, periode, dan mekanisme pembayarannya,” katanya.
Namun Srijanto menyatakan langkah XL yang membawa kasus itu ke BANI tidak pernah mencapai kata sepakat bagi kedua belah pihak. “APWI secara tegas menolak melibatkan BANI, silakan membayar sesuai dengan surat keputusan Dirjen Postel No 10/2008. Jika tidak mau, maka kami akan mengajukan jalur hukum atas tuduhan penggelapan,” ujarnya.
Pengamat telekomunikasi Budi Rahardjo menyarankan agar pengusaha wartel mencoba mencari lahan bisnis baru, daripada tidak mendapatkan untung dengan membuka warung telekomunikasi, “Bisa ke warnet atau warung serba ada lainnya selain wartel, sehingga tidak merugi,” katanya.
Pengamat Telematika Mas Wigrantoro Roes Setiyadi memiliki pandangan serupa. “Wartel memang layaknya televisi hitam-putih tergerus oleh adanya teknologi baru, dengan semakin banyaknya akses terhadap ponsel dan telepon rumah maka kebutuhan masyarakat terhadap wartel akan semakin kecil. Besar kemungkinan para pengusaha wartel harus mencari sumber penghidupan baru selain wartel,” katanya.
Menyangkut nasib wartel, Srijanto mengatakan Senin (22/03) ada pertemuan antara BRTI dengan operator, yang dilanjutkan pertemuan antara BRTI dengan APWI. “Hal ini segera selesai asal ada goodwill dari operator dan pemerintah bertanggung jawab terhadap kehidupan wartel,” harapnya. [mor]
sumber: inilah.com
Forum Penyelamat Wartel, pekan lalu, mendemo kantor XL, Indosat, Telkom, dan Kemenkominfo. Mereka menuntut pembayaran pelunasan biaya hak air time sebesar Rp54 miliar. Tapi operator berkilah bahwa tagihan itu masih belum jelas karena pergantian aturan.
Tunggakan air time muncul karena pergantian aturan dari Keputusan Menteri No 46 Tahun 2002 menjadi Peraturan Menteri No 5 Tahun 2006 yang memunculkan sistem interkoneksi berbasis biaya. Akibat pergantian aturan itu, biaya air time dihapus, tapi Asosiasi Pengusaha Wartel Indonesia (APWI) menilai masih ada tunggakan berdasarkan surat keputusan Dirjen Postel No 10/2008.
"Berdasarkan pasal 22 dengan berlakunya Peraturan Menteri No 5 Tahun 2006 bahwa ada pergantian ke biaya interkoneksi, walaupun ditetapkan pada awal 2006 tetapi dalam waktu satu tahun bisa disesuaikan, penerapannya baru awal 2007 sehingga masih terhitung untuk tahun 2006,” ujar Ketua APWI Srijanto Tjokrosudarmo.
Berdasarkan hitungan Telkom, menurut Srijanto tunggakan yang masih harus dibayar operator berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan No 46 Tahun 2002 dan Peraturan Menteri No 5 Tahun 2006 adalah sebesar Rp 54 miliar. Telkomsel memiliki tunggakan Rp37 miliar (68,4%), Indosat Rp12,1 miliar (22,3%), XL Rp4,17 miliar (7,7%), Mobile-8 Rp729 juta (1,4%), Smart Telecom Rp75 juta (0,1%) dan Natrindo (Axis) Rp 5 juta (0,01%).
Dihubungi terpisah, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) menyatakan sedang mengkaji. “Sebenarnya masih terdapat masalah hukum di antara operator dan Asosiasi Pengusaha Wartel Indonesia (APWI) untuk perhitungan tanggal 1 Januari 2006 hingga 1 Januari 2007 karena di sana terjadi perubahan peraturan yakni dari Keputusan Menteri No 46 Tahun 2002 menjadi Peraturan Menteri No 5 Tahun 2006 yang tidak lagi mengatur biaya hak air time,” ujar Anggota BRTI Heru Sutadi.
Heru mengatakan BRTI sebagai regulator akan menjadi penengah dengan mengusahakan pertemuan pekan ini menyangkut jumlah, mekanisme dan periode waktu pembayaran.
“Kami akan berusaha adil kepada semua pihak yang terlibat yakni Asosiasi Pengusaha Wartel Indonesia, Telkom dan enam operator yang terlibat penunggakan pembayaran,” kata Heru.
Head of Corporate Communications PT Natrindo Telepon Selule (Axis), Anita Avianty menegaskan Axis memiliki iktikad baik secara musyawarah mufakat untuk menyelesaikan masalah air time.
"Memang sudah ada beberapa kali pertemuan antara Asosiasi Pengusaha Wartel Indonesia (APWI) dan operator untuk membahas biaya air time, namun sayangnya belum tercapai titik temu mengenai jumlah, mekanisme, dan periode kewajiban pembayaran,” ujarnya.
Head of Corporate Communication XL Axiata Febriati Nadira menyatakan hal senada. XL bersedia membayar kewajiban selama ada perhitungan dan jumlah yang jelas dan dikeluarkan oleh pihak berwenang yaitu Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).
"Hal ini telah kami bahas dengan BRTI dan sepakat untuk mendapatkan penetapan dari BANI mengenai jumlah, periode, dan mekanisme pembayarannya,” katanya.
Namun Srijanto menyatakan langkah XL yang membawa kasus itu ke BANI tidak pernah mencapai kata sepakat bagi kedua belah pihak. “APWI secara tegas menolak melibatkan BANI, silakan membayar sesuai dengan surat keputusan Dirjen Postel No 10/2008. Jika tidak mau, maka kami akan mengajukan jalur hukum atas tuduhan penggelapan,” ujarnya.
Pengamat telekomunikasi Budi Rahardjo menyarankan agar pengusaha wartel mencoba mencari lahan bisnis baru, daripada tidak mendapatkan untung dengan membuka warung telekomunikasi, “Bisa ke warnet atau warung serba ada lainnya selain wartel, sehingga tidak merugi,” katanya.
Pengamat Telematika Mas Wigrantoro Roes Setiyadi memiliki pandangan serupa. “Wartel memang layaknya televisi hitam-putih tergerus oleh adanya teknologi baru, dengan semakin banyaknya akses terhadap ponsel dan telepon rumah maka kebutuhan masyarakat terhadap wartel akan semakin kecil. Besar kemungkinan para pengusaha wartel harus mencari sumber penghidupan baru selain wartel,” katanya.
Menyangkut nasib wartel, Srijanto mengatakan Senin (22/03) ada pertemuan antara BRTI dengan operator, yang dilanjutkan pertemuan antara BRTI dengan APWI. “Hal ini segera selesai asal ada goodwill dari operator dan pemerintah bertanggung jawab terhadap kehidupan wartel,” harapnya. [mor]
sumber: inilah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar