Polisi mengamankan demo menolak kenaikan BBM |
Dilema muncul tatkala kepolisian sendiri pada dasarnya terdiri atas orang-orang yang juga bakal merasakan beratnya perekonomian pascaharga baru BBM. Walau melarang orang lain berdemo, bukan tak mungkin para istri polisi pun sebenarnya menjerit juga karena tertekan kenaikan harga.
Dilema lain muncul tatkala kegiatan mengamankan demo tersebut campur baur dengan kegiatan pengamanan kamtibmas pada umumnya. Di satu pihak, polisi berupaya agar para pendemo tetap pada aktualisasi hak konstitusionalnya untuk mengemukakan pendapat. Di pihak lain, ada terlalu banyak faktor yang mendistorsi para pendemo dan, secara interaktif, juga ”mengganggu” perhatian polisi. Akibatnya, pengamanan demo BBM malah berubah menjadi kerusuhan dan penangkapan demonstran.
Lebih parah lagi, seperti terjadi pada kasus penyerbuan Kampus Universitas Nasional beberapa hari lalu, polisi yang gantian kejeblos. Terprovokasi oleh aksi mahasiswa, polisi malah beringas dan anarkis saat menyerbu kampus tersebut. Betapapun terdapat cukup kuat indikasi bahaya kepolisian atau police hazard (seperti penemuan narkoba, senjata tajam, dan bahkan granat), metode yang dipergunakan untuk melumpuhkan mahasiswa jelas sulit dijustifikasi. Serba salah memang.
Seakan tidak ingin mengulangi kesalahan sehari sebelumnya, kepolisian tampil berbeda saat menghadapi demonstrasi mahasiswa UKI di kawasan Cawang. Dilengkapi dengan tameng defensif ala Brimob, kepolisian mengambil posisi bertahan saat dilempari batu sekalipun.
Tidak hitam-putih
Contoh-contoh di atas bertujuan memperlihatkan betapa tidak hitam-putih, demikian pula tidak sederhananya persoalan yang dihadapi kepolisian. Sama pula halnya, betapa tidak hitam-putih cara menghadapi persoalan tersebut. Setiap kali kepolisian harus berhitung dengan minimal 10 variabel saat bertindak, khususnya dalam rangka kegiatan kepolisian yang memiliki unsur ketertiban umum (public order). Kesepuluh variabel itu adalah kewenangan yang dimiliki, sumber daya manusia yang ada, anggaran yang tersedia, ketercukupan peralatan, siapa kalangan yang dihadapi, isu yang diusung, opini publik, keberingasan massa, kemungkinan eskalasi jika terjadi benturan, serta persoalan kesesuaian dengan politik pemerintah.
Dalam praktik, kesepuluh variabel tersebut bahkan bisa bertambah, khususnya di (bekas) daerah konflik seperti Aceh atau Maluku. Demikian pula di daerah dengan penduduk bertemperamen tinggi, atau yang memiliki sejarah kekerasan kepolisian, seperti Makassar. Tidak hanya banyak, tetapi juga ada kemungkinan variabel yang satu merupakan penyulit bagi yang lain. Terkait isu BBM, ini dia dilema yang tampaknya amat klasik bagi para polisi.
Keberadaan dilema inilah yang tampaknya menjadikan pekerjaan kepolisian berbeda dengan militer. Padahal, seperti juga militer atau pejabat publik pada umumnya, kepolisian sudah dibungkus untuk tidak melakukan pembiaran atau keputusan untuk tidak beraksi (non-action decision) mengingat hal itu akan menempatkan kepolisian sebagai pelanggar HAM.
Perpolisian yang kompleks
Meski demikian, agar seimbang, sebenarnya tidak terlalu sering muncul situasi yang menghadirkan apa yang disebut complex policing (kegiatan kepolisian atau perpolisian yang kompleks) tersebut. Dengan kata lain, yang jauh lebih mendominasi keseharian organisasi polisi adalah kegiatan kepolisian yang rutin, di mana variabel yang berpengaruh hanya lima atau bahkan kurang. Makin berkecukupan suatu organisasi kepolisian, demikian pula makin stabil suatu masyarakat, sebenarnya akan makin kecil probabilitas bagi hadirnya complex policing tersebut.
Secara internal, terkait reformasi kepolisian yang berlangsung sejak 10 tahun terakhir, persoalan klasik seperti keterbatasan peralatan dan teknologi kepolisian kini semakin berkurang. Dengan kata lain, hal itu tidak lagi menjadi variabel yang terus-menerus memengaruhi kinerja kepolisian. Persoalan sumber daya manusia, yang umumnya menjadi penentu berhasil-tidaknya satuan kepolisian setempat melakukan tugasnya, dewasa ini juga relatif membaik.
Secara eksternal, sebenarnya kita juga berharap bahwa 10 tahun reformasi telah membuat beberapa permasalahan ”selesai”, dalam arti telah terdapat konsensus politik ataupun komitmen dengan cara bagaimana kita akan menyelesaikannya. Dengan demikian, secara jumlah, persoalan yang kita hadapi atau yang bisa mengganggu kita setiap kali bertindak akan semakin berkurang. Benarkah demikian?
Menurut banyak pengamat, bukannya mereda, berbagai persoalan di seputar primordialitas masyarakat, misalnya, malah terus menggejala dan bahkan menguat. Korupsi yang hendak dikurangi dengan pemberian otonomi daerah serta dengan pemberdayaan KPK juga ternyata hanya pindah lokasi atau berubah modusnya. Kehidupan demokrasi yang kini ditumbuhsuburkan malah melahirkan praktik-praktik politik ”lama tapi baru”, seperti money politics, hujat-menghujat, skandal susila dan narkoba, pengerahan demonstrasi bayaran, dan pembunuhan karakter lawan.
Mau tidak mau, situasi makro itu akan terimbas pula pada kepolisian sebagai alat negara yang memiliki kewenangan hukum terbesar terkait pemeliharaan keamanan dalam negeri. Kepolisian yang tidak mau ”terjun bebas” menghadapi situasi yang pemain-pemainnya tidak atau belum diketahui, baik peran maupun karakternya, lalu berupaya melengkapi dan memperkuat diri. Salah satunya melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia kepolisian sehingga mampu berpikir di aras politis dan strategis.
Pemerkuatan jumlah kepolisian dan peralatan juga dilakukan dengan memperhitungkan risiko terburuk, dan kemungkinan besar bukan dengan pertimbangan efisiensi atau efektivitas.
Oleh: Adrianus Meliala
Guru Besar Kriminologi FISIP UI
sumber: www.kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar