Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

31 Oktober 2013

Masalahnya Bukan UMK, Tapi Bagaimana Kontrol Pemerintah Agar Harga Kebutuhan Tidak Naik?

"Siapa sih, yang nggak senang dengan kenaikan gaji?"
Semua orang yang masih berada pada posisi digaji (buruh), bukan menggaji (pengusaha), pasti senang mendengarnya. Saya pribadi mengamini kalau gaji dinaikkan. Tapi kalau tiap tahun harus demo, ribut-ribut soal UMK (Upah Minimum Kabupaten/Kota) karena tidak sesuai dengan KHL (Kondisi Hidup Layak). Rasanya kok persoalan seperti ini menjadi bara abadi yang selalu menguras energi tiap tahun.

Ini 'kan ibarat melestarikan persoalan yang sebenarnya semua mata tahu. Tanya tuh Ketua Serikat Buruh, Pemerintah, dan Dewan Pengupahan Kota, saya yakin mereka semua pasti tahu.

Masalahnya itu bukan pada upah murah, itu seperti sebuah konspirasi saja untuk memeras para pengusaha. Mengalihkan tanggung jawab Pemerintah terhadap kontrol harga kebutuhan pokok.Masalahnya itu adalah, harga-harga naik, dengan mengakibatkan efek domino, yang salah satunya juga dipicu oleh kenaikan BBM. (Padahal sebenarnya untuk urusan bahan bakar memasak rasanya sudah teratasi dengan digantikannya minyak tanah dengan elpiji.)

Tapi persoalan hidup itu banyak, mulai ongkos transportasi, bahan pokok, sandang, hingga tempat tinggal, seolah berlomba-lomba naik. Dan yang jelas si pemegang peran (baca: aktor utama), untuk kebijakan yang satu ini adalah Pemerintah melalui lembaga- lembaganya, terkesan membiarkan harga-harga tak terkontrol. Artinya belum ada peran yang kentara, seperti menghapus/menghilangkan para mafia kebutuhan bahan makanan pokok. Dan bagaimana mengeliminir jalur distribusi agar tidak bertambah sebagai beban yang turut mengkatrol kenaikan harga.

Saya kok punya angan-angan kalau UMK disemua Indonesia ini sama. Sehingga ada UMN (Upah Minimum Nasional). Kemana-mana, baik di Jawa, Sumatera, Kalimantan, hingga Papua, sama semua. Tentu saja karena KHL-nya juga sama. Karena apa, karena harga di semua tempat di Indonesia sama, baik di Papua, Jawa dll. Terlalu ideal mungkin, hehehe...

Kalau pun tidak bisa, alternatif lainnya, mengandaikan jika kaum buruh memiliki badan atau anggaplah semacam koperasi yang mengatur distribusi kebutuhan pokok masing-masing pekerja. Dimana koperasi tersebut memiliki kontrol harga yang tentunya tidak terpengaruh harga pasar yang fluktuatif, dan tentunya lebih murah. Contoh kasarnya seperti ini: seorang karyawan A memiliki voucher untuk membeli kebutuhan beras sejumlah konsumsi tertanggungnya selama sebulan, andaikan memiliki 4 orang tertanggung (sesuai SPT Tahunan/NPWP) berarti jumlah beras perbulannya adalah 25 kg. Sedangkan minyak goreng yang dibutuhkan adalah 4 liter. Asal pelaksanaannya jujur, transparan, dan tidak ada yang saling timbun tentunya hal itu bisa meringankan beban para buruh industri juga.

Ya ini, sih cuma imho (in my humble opinion), suka tidak suka ini cuma uneg uneg saya yang Asal Njeplak Saja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar