Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

09 Agustus 2009

Terrorist Never Die

Saya cermati perkembangan penangkapan teroris pada dua hari terakhir ini, kelihatan seru, dan seolah-olah Noordin Mohd Top tamat kiprahnya. Tapi saya kok tak yakin kalau yang tewas ditengah sergapan Densus 88 di Temanggung, Jawa Tengah adalah Noordin. Tampaknya terlalu disayangkan kalau dia harus mati dengan cepat seperti itu, rasa-rasanya suli dipercaya. Noordin telah menjadi icon Teroris besar pasca tewasnya Dr. Azahari di Malang dan eksekusi hukuman mati Trio Bomber Bali, ustadz Mukhlas, Amrozi, dan Imam Samudra. Noordin seolah jadi harapan utama para pengikut dan simpatisannya untuk membuat perubahan yang radikal di Indonesia.

Selama dua dekade terakhir-saat saya sudah bisa berpikir dan melihat sebagai seorang dewasa-bahwa ada beberapa golongan atau motivator menjadi teroris di Indonesia. Dengan gerakan underground dan gerilya, sebenarnya gerakan perlawanan ini tak layak disebut teroris. Disebut seperti itu ya.. karena negara (Pemerintah) merasa terteror sehingga disebut Teroris padahal dimata simpatisannya dia adalah Pahlawan (Syuhada).

Pada periode 1980-an sampai 2000-an, Indonesia diteror dengan berbagai macam gerakan yang mengancam kedaulatan wilayah, beberapa diantaranya adalah Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) pimpinan Hasan Tiro di Aceh, Gerakan Republik Maluku Selatan oleh Alex Manuputi di Maluku, Gerakan Fretelin pimpinan Xanana Guzmao di Timor Timur, dan Organisasi Papua Merdeka pimpinan Kelik Walik di Papua, serta konflik Ambon dan Poso.

Teroris atau saya suka menyebutnya pemberontak, adalah orang yang menunjukkan ketidakpuasan pada negara ini dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang mengacaukan kelancaran negara. Semua gerakan itu memang berbeda-beda motivasinya tapi satu hala yang menyatukannya adalah membuat kekacauan (teror) di Indonesia.

GPK di Aceh, dulu tujuan utamanya adalah memisahkan dari Republik Indonesia dengan membuat pemerintahan sendiri yang sesuai dengan hati nurani masyarakatnya. Belakangan ini, pada tahun 2005-an Hasan Tiro akhirnya melunak dan berdamai dengan Indonesia dengan beberapa opsi perdamaian di Helsinki, Finlandia. Alhamdulillah sudah teratasi, dan kedua pihak saling menghormati, semoga tidak ada hal yang membuat luka lama itu menganga lagi.

Seperti halnya Aceh, para penganut ideologi Dr. Soumokil masih percaya bahwa RMS masih bisa hidup lagi dengan mengobarkan perlawanan pada Republik Indonesia. Begitu pula papua dengan OPM-nya, sepertinya mereka tak rela tanahnya dijarah dan kehidupan ekonomi dinjak-injak oleh Indonesia dengan mengatasnamakan kepentingan negara. Tapi lain halnya dengan Timor Timur, setelah bertahan di bawah kekuasaan Indonesia sejak tahun 1976 akhirnya lepas tahun 1999 melalui referendum rakyat Timor Timur. Melalui putusan PBB dengan didahului peperangan antara TNI dibantu milisi bersenjata melawan Fretelin yang dibantu Australia dan rakyat Timor-Timur. Berbagai pemberontakan tersebut berideologi pada perasaan ketidakadilan negara dan ingin memisahkan wilayah dari Indonesia.

Namun pada konflik Poso dan Ambon, adalah kerusuhan yang didasarkan pada sengketa agama. Dimana pada kedua daerah tersebut, umat Nasrani dan Islam memiliki penganut yang hampir berimbang dengan potensi konflik. Apalagi masyarakat Sulawesi dan Maluku selama ini dikenal memiliki sifat yang keras dan hal ini sangat berakibat fatal jika sudah terpancing sehingga bisa menyebabkan domino effect. Walaupun pada akhirnya konflik itu bisa diatasi Pemerintah dengan mendamaikan para tetua agama masing-masing diikuti pada grass root namun domino effect memang sudah terjadi.

Sangat menarik mengikuti teroris bom yang ladang perjuangannya tidak didasrkan wilayah namun telah menyebar ke seluruh pelosok Sumatera, Jawa, Bali. Maraknya pemboman-pemboman di tanah air tak bisa dilepaskan dari cikal bakal konflik Poso dan Ambon. Bom malam natal di Batam tahun 2000, diikuti bom Bali tahun 2001 yang maha dahsyat, bom JW Marriot, bom Bali 2, serta Bom didepan Kedubes Australia Kuningan, dan bom JW Marriot & Ritz Carlton.

Konflik Poso dan Ambon seakan membangkitkan mata rantai yang hilang. Yaitu memori akan mimpi mendirikan Negara Islam Indonesia yang dulu pernah dicetuskan Kartosuwiryo.

Ok.... mari kita coba berpikir seperti yang mereka pikirkan. Para Teroris Bom, mungkin mengebom adalah langkah strategis yang bisa dilakukan dikarenakan sudah tertututup langkah delegasi di perundingan untuk mendirikan NII. Mereka berpikir bahwa Indonesia ini telah terjebak pada neo Liberalisme barat dengan menganut pola kehidupan yang jauh dari islami. Padahal kita ketahui bahwa penganut agama Islam di Indonesia sekitar 80 persen lebih. Namun kenapa perilaku kehidupan di Indonesia ini tak mencerminkan agamanya? Sistem fiqih Islam dan kaidah lainnya tak jalan dengan semestinya, bahkan seakan dipatahkan oleh pemerintahan Indonesia.

Mereka (teroris) melihat bahwa Amerika, Inggris, Australia, dan negara barat telah membuat pemerintahan kita lemah. Dan keberanian untuk berontak atau melawan pemerintahan Indonesia ini seakan mendapatkan stimulus atas peristiwa WTC 11 September 2001 dari organisasi pergerakan Islam lainnya yang lebih besar lainnya melalui Al-Qoidah-nya, Usamah bin Laden. Dan Jamaah islam yang menjadi pusat gerakan Islam di Asia Tenggara seakan menjadi eksekutornya. Walaupun tak semua anggota Jamaah Islamiah setuju dengan radikalisme untuk protes pada pemerintah negara yang dinilai telah disusupi barat. Mereka berpikir dengan masyarakat Indonesia yang bergama Islam terbanyak di dunia seharusnya syariah Islam bisa ditegakkan di negara ini.

Tapi seharusnya mereka sadar bahwa menerapkan syariah Islam di muka Indonesia ini sangatlah susah dan mungkin sia-sia. Bukan hanya karena ada beberapa wilayah di Indonesia yang masyarakatnya menganut agama non Islam seperti Bali, NTT, Maluku, dan Papua, tetapi faktor utamanya justru pada para penganut Islam itu sendiri. Lho kok?

Islam, di Indonesia masih menyentuh pada aspek kewajiban dan larangan umat bahkan hanya sering ditunjukkan pada kebudayaan, bukan mengakar pada tatanan kehidupan dan fiqih islami. Islam di Indonesia ini bukan dipeluk secara total, masyarakatnya bahkan hanya memeluk Islam sebatas Rukun Islam, Rukun Iman, serta hukum pernikahan. Sedangkan aspek penegakan hukum masih berlindung dibawah hukum negara yang abu-abu. Padahal syariah islam itu sendiri justru menguntungkan dan melindungi umat islam sendiri sehingga ahlak dan perilaku kehidupan bisa menjadi baik lagi. namun faktanya banyak masyarakat Islam Indonesia yang tidak tahu menahu bagaimana menjadi orang Islam itu bahkan kebanyakan hanya sebatas ber-KTP Islam saja namun tingkah lakunya jauh dari ajaran Islam.

Oleh sebab itu saya sarankan sebaiknya Teroris yang mengatasnamakan agama Islam mohon sekiranya instrospeksi diri dan mencari negara lainnya yang ahlak masyarakatnya masih mungkin diperbaiki untuk mendirikan Daulah Islamiyah. Lha wong masyarakat Islam Indonesia saja susah diajari bagaimana bersyariah Islam yang baik dan benar. Justru setiap ada umat yang kukuh dan tegas pada aturan agama dibilang radikal atau garis keras. Padahal Al-Qur’an itu ’kan tegas. Tapi kenapa justru umat Islam sendirilah yang melemahkan aturan-aturannya?

Hmm....beginilah kalau Imam Islam di Indonesia selalu disetir Pemerintah, dipengaruhi kebijakannya demi sikap politik. Hal ini membuat kurang maksimal peranannya, apalagi sekarang mereka justru sibuk berebut jabatan. Tapi, apakah justru karena masyarakat yang cenderung ’abangan’ inilah yang membuat dunia Islam di Indonesia itu unik, dan berbeda dari Islam di Timur Tengah?

Namun saya meyakini, selama masih ada orang Islam Indonesia yang bermimpi dan punya ideologi untuk menegakkan Islam yang sempurna di muka Indonesia. Atau berpikir bahwa Indonesia masih memungkinkan menjadi Negara Kekhalifaan, Daulah Islamiyah, Negara Islam Indonesia atau apapun sebutannya, tentunya teroris-teroris dari kaum Islam akan selalu bermunculan lagi.

So, are you ready to being The Next Terrorist?

1 komentar: