Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

15 Desember 2009

Dunia Peradilan Tanpa Orang Hukum

Sebelum saya membahas lebih jauh tulisan ini saya mohon maaf jika ternyata ada pihak-pihak yang tersinggung dan merasa keberatan atas artikel ini. Ini hanyalah konsep menurut presepsi dan pandangan saya. Saya tahu, tidak semua orang seperti yang saya maksudkan. Kalau orang barat bilang, ”Don’t judge by the cover!”

Selama hidup saya ini, dunia peradilan di Indonesia ini bermasalah, artinya tidak semua orang mendapat perlakuan yang sama di mata hukum. Hukum di negara tercinta ini sangat relatif tergantung jauh dekatnya dengan kekuasaan, uang, dan jabatan. Jadi kalau anda masyarakat tidak berada di ’jalur yang tepat’ maka jangan harap anda mendapatkan keadilan di sini.

Perangkat pengadilan yang terdiri dari Hakim, Jaksa, Pembela seolah hanya menjadi lawakan di panggung keadilan. Apa yang salah sebenarnya? Kenapa terjadi banyak persepsi bagi hukum? Bukankah hukum pasti ada dasarnya yaitu Undang-Undang? Lantas kenapa harus dibikin masalah sepele menjadi rumit. Kalau sudah jelas salah ya salahkan, tidak perlu mencoba mencari pembelaan yang mengaburkan fakta. Tapi.... faktanya terjadi demikian dan berulang, sampai-sampai saya merasa bosan dan malu menjadi warga negara Indonesia.


Ganti Saja Sarjana Hukum Dengan Para Teknokrat
Aku lantas berandai-andai, sebenarnya apa sih membuat terjadi ’kekacauan’ hukum di Indonesia ini. Yang benar bisa jadi salah, sedang yang salah gak mau disalahkan? Hufh..!!! Apa karena landasan undang-undangnya yang tidak kuat? Apa tidak semua orang hukum mengeri undang-undang, hingga harus mbulet berputar-putar. Dan akhirnya yang dicari bukanlah menghukum yang berbuat salah, tapi mencari kemenangan. Wah repot kalau gini? Memangnya hukum itu untuk dimenangkan?


Susah memang, kadang aku malah berpikir sebenarnya konsep membuat lembaga hukum yang bernama pengadilan itu apa sih? Apa mencari kemenangan dari suatu kasus? Atau membuktikan kebenaran dan kesalahan?

Bahkan seseorang yang jelas-jelas salah di mata undang-undang ternyata bisa lolos di pengadilan, hanya karena mempunyai pengacara yang handal dan pandai memutarbalikkan fakta. Lantas, kalau begini apa sih yang bisa kita andalkan dari suatu pengadilan? Jangan harap bisa memenangkan kasus kalau tak punya uang! Padahal bukankah sejatinya tugas Hakim adalah memutuskan perkara, Jaksa adalah menuntut hukuman kepada terdakwa yang berlandaskan bukti-bukti saksi dan undang-undang. Sedangkan pembela atau sekarang yang lebih terkenal sebagai pengacara adalah untuk membela hak-hak terdakwa agar mendapatkan pengadilan yang adil dengan berdasarkan pada saksi, alibi, dan motif.

Tapi sekarang kok ya kenyataannya lain, undang-undang dicari kelemahannya, agar terbebas dari hukuman. Pengadilan seolah diperjualbelikan? Ini karena mental atau karena orangnya? Kalau karena orangnya mungkin kita harus berpikir ulang apakah masih pantas lulusan hukum yang jelas-jelas melek hukum tetap dibiarkan di pengadilan dan memutarbalikkan fakta. Bukankah lebih enak mengganti dengan orang teknik atau berilmu pasti. Dimana A pasti menjadi A, B selalu menjadi B tidak mungkin jadi C. Jika mencuri hukumannya maksimal 5 tahun harus dikalkulasi dulu, berapa nilai barang yang dicuri diperbandingkan dengan nilai material tersebut dan inflasi tahun ini. Kemudian dicari nilainya dan dikonversikan dengan tahun hukuman, kan jadi jelas!

Daripada seperti sekarang, mencuri sebuah mangga dihukum 5 tahun babak belur lagi, sedangkan orang yang korupsi 3 trilyun cuma dihukum 3 bulan, tanpa perlu membayar kerugian. Huahuaha.... negara macam apa ini?

Pada dasarnya ada yang lebih bijak, yaitu mengembalikan konsep hukum dan peradilan ini dengan konsep ketuhanan. Artinya meletakkan kebenaran dan keadilan dengan prinsip sesuai dengan nilai moral ketuhanan dan keagamaan. Sehingga bukan sekedar menang tapi belum tentu benar di 'mata' Tuhan.

1 komentar: