Dua orang kawan mengunjungiku, saat saya pulang kampung ke Lamongan, pertengahan September 2014. Sebut saja A dan B, ya..si A, kawan yang notabene tetangga saya sendiri di Batam. Kebetulan, dia pun juga sedang ada urusan di kampung halamannya. Silaturahmi ke rumah saya di Lamongan ini, tidak semata-mata menjumpaiku namun juga untuk menjenguk ibu saya yang sakit. Karena ini baru pertama kali baginya mengunjungi Lamongan maka saya juga berperan sebagai tour guide untuknya.
Lantas di suatu senja, kala Matahari hendak tenggelam di batas cakrawala, kami pun menunaikan sholat Maghrib di Masjid Agung Lamongan. Setelah sholat, kami rehat sejenak untuk bercerita panjang lebar. Walau bertetangga, namun sudah hampir setahun kami tak bertemu karena dia bekerja di kota lain.
Sembari bercerita, pandangan kami tertuju pada 2 gentong di pelataran halaman masjid. Entah rasa penasaran atau apa, tiba-tiba kawanku A dan B serempak bertanya padaku tentang perihal 2 gentong tersebut.
"Waduh! panjang ceritanya..." jawabku, sembari saya menarik nafas.
Kemudian saya mencoba mengingat tutur tinular, yang sampai padaku, cerita yang pernah disampaikan Bapak dan Mbah.
"Begini ceritanya....."
Saat itu Kadipaten Lamongan dipimpin oleh seorang Adipati yang bernama Raden Panji Puspokusumo, saya tidak tahu beliau Adipati ke berapa. Beliau memiliki dua orang putra kembar, diberi nama Raden Panji Laras dan Raden Panji Liris. Mereka berdua sama-sama tampan, selain itu Raden Panji Laras dan Raden Panji Liris juga dikenal masyarakat mempunyai sifat yang sangat baik. Oleh karena itu, banyak gadis-gadis yang terpikat pada mereka.
Hingga kabar tentang mereka berdua ini terdengar hingga ke Kadipaten tetangga. Kadipaten Kediri (ada yang bilang Kadipaten Wirosobo, wilayah yang meliputi Kediri, Kertosono, dan Nganjuk), juga mendengar kabar bahwa di Lamongan memiliki Pangeran yang tampan.
Adipati Kadipaten Kediri dua orang puteri kembar yang cantik, bernama Dewi Andansari dan Dewi Andanwangi. Kemudian beliau mengajukan utusan untuk menyampaikan perihal lamaran pada Adipati Lamongan. Singkat cerita, setelah berunding dengan keluarga, termasuk sang pangeran Panji Laras dan Panji Liris, beserta pejabat Kadipaten Lamongan. Maka akhirnya lamaran ini diterima dengan syarat agar kedua puteri kembar Adpati kediri ini datang ke Lamongan sambil masing-masing membawa sebuah gentong yang terbuat dari batu berisi air penuh, beserta alasnya untuk ditaruh di alun-alun Kadipaten Lamongan. Dan, akan dijemput oleh Pangeran Panji Laras dan Panji Liris di perbatasan bagian selatan Kadipaten Lamongan.
Singkat cerita, akhirnya Adipati Kediri bersedia menerima persyaratan itu. Dan entah gimana ceritanya kedua putri Kadipaten Kediri bisa memiliki memiliki kekuatan super mengangkat kedua gentong tersebut.
Sesuai dengan janjinya Raden Panji Laras dan Raden Panji Liris menjemput kedatangan Dewi Andansari dan Dewi Andanwangi di tepi Kali Lamong, di sekitar Kecamatan Mantup.
Pada zaman itu belum ada jembatan yang menghubungkan Kali Lamong. Sehingga kedua putri itu harus menyeberangi sungai yang sedang melimpah airnya. Ketika menyeberangi sungai, karena tak ingin pakaian yang dikenakannya basah, maka kedua putri tersebut menggulung pakaiannya hingga ke lutut, sehingga kedua betis gadis-gadis ini kelihatan.
Raden Panji Laras dan Raden Panji Liris yang melihat dari seberang sungai terkejut karena mendapati banyak rambut yang tumbuh di kaki-kaki kedua gadis cantik tersebut. Langsung dech ilfil
Setelah peristiwa ini, Raden Panji Laras dan Liris urung menjemput kedua putri Kediri, dan tidak bersedia menikah. Namun kedua putri tetap membawa kedua gentong tersebut hingga ke alun-alun. Namun apa lacur, kedua pangeran dari Lamongan tetap menolak menerima lamaran kedua putri Kediri.
Perihal penolakan dan penghinaan inilah yang memicu perang antara Kadipaten Kediri dan Lamongan. Lha gimana, ibarat kata "Adoh-adoh direwangi teko, abot-abot direwangi nggowo genuk, lha kok dienyek gak karu-karuan" bahasa Indonesianya, walaupun jauh jaraknya tetap ditempuh, walaupun berat membawa gentong tetap dijalankan, lha kok dihina seperti ini.
Singkat cerita terjadilah pertumpahan darah, perang antara Lamongan dan Kediri yang di-backup oleh pasukan Kadipaten Japanan (sekarang lebih dikenal dengan Mojokerto). Panglima perang Kadipaten Lamongan, Ki Sabilan terbunuh karena melindungi Panji Laras & Panji Liris. Ki Sabilan, atau lebih dikenal oleh warga Lamongan dengan sebutan Kinameng atau Mbah Sabilan. Beliau gugur sebagai tameng/perisai, pelindung keluarga Kadipaten Lamongan. Adapun Panji Laras dan Panji Liris, juga dikabarkan gugur di medan perang. Dan...sampai disini saya tidak tahu ceritanya, siapa yang menang dan kalah. Konon, karena peristiwa ini keluarga Kadipaten Lamongan murka, dan mengutuk agar pemuda Lamongan tidak menikah dengan gadis Kediri agar tidak celaka.
Adanya peristiwa ini menimbulkan budaya baru pada Lamongan. Yaitu: satu, timbulnya budaya lamaran dimana pihak wanita yang melamar pada pihak pria. Dan kedua, timbulnya pantangan dimana pemuda Lamongan dilarang menikah dengan gadis dari Kediri. Apabila pantangan ini dilanggar, konon pernikahan keduanya tidak akan berbahagia, atau tak bakal langgeng.
Tradisi melamar pada pihak wanita ke pihak laki-laki masih ada, pada sebagian masyarakat Lamongan. Juga pantangan menikah dengan gadis Kediri masih berlaku pada sebagian kalangan yang masih mempercayai hal ini. Seiring waktu, mungkin hal ini akan tergerus karena proses akulturasi budaya.
Seperti saya ceritakan, kedua buah gentong atau genuk batu, dan dua buah batu seperti kipas tersebut, sampai sekarang masih tersimpan di halaman Masjid Agung Kabupaten Lamongan. Anda juga bisa mendapati Laras-Liris sebagai nama jalan, juga Andansari dan Andanwangi, di sekitaran Kota Lamongan.
Kalau anda berminat mengikuti cerita versi lainnya, saya sudah dapatkan link-nya, silakan cek di sini.
Note:
Okay..., kenapa saya mengingat peristiwa ini? Karena, rupanya saat ini, kawan saya si A, sedang pedekate dengan teman lamaku se-SD-SMP-SMA. Karena si A orang Kediri dan cowok, sedangkan teman lamaku ini cewek dan asli Lamongan. Tapi.... si A 'kan cowok, jadi saya pikir tak ada masalah, tidak menyalahi pantangan.
Well... semoga berhasil pedekate masbro! Maklum, teman lamaku ini agak keras orangnya.
Lantas di suatu senja, kala Matahari hendak tenggelam di batas cakrawala, kami pun menunaikan sholat Maghrib di Masjid Agung Lamongan. Setelah sholat, kami rehat sejenak untuk bercerita panjang lebar. Walau bertetangga, namun sudah hampir setahun kami tak bertemu karena dia bekerja di kota lain.
Sembari bercerita, pandangan kami tertuju pada 2 gentong di pelataran halaman masjid. Entah rasa penasaran atau apa, tiba-tiba kawanku A dan B serempak bertanya padaku tentang perihal 2 gentong tersebut.
"Waduh! panjang ceritanya..." jawabku, sembari saya menarik nafas.
Kemudian saya mencoba mengingat tutur tinular, yang sampai padaku, cerita yang pernah disampaikan Bapak dan Mbah.
"Begini ceritanya....."
Saat itu Kadipaten Lamongan dipimpin oleh seorang Adipati yang bernama Raden Panji Puspokusumo, saya tidak tahu beliau Adipati ke berapa. Beliau memiliki dua orang putra kembar, diberi nama Raden Panji Laras dan Raden Panji Liris. Mereka berdua sama-sama tampan, selain itu Raden Panji Laras dan Raden Panji Liris juga dikenal masyarakat mempunyai sifat yang sangat baik. Oleh karena itu, banyak gadis-gadis yang terpikat pada mereka.
Hingga kabar tentang mereka berdua ini terdengar hingga ke Kadipaten tetangga. Kadipaten Kediri (ada yang bilang Kadipaten Wirosobo, wilayah yang meliputi Kediri, Kertosono, dan Nganjuk), juga mendengar kabar bahwa di Lamongan memiliki Pangeran yang tampan.
Adipati Kadipaten Kediri dua orang puteri kembar yang cantik, bernama Dewi Andansari dan Dewi Andanwangi. Kemudian beliau mengajukan utusan untuk menyampaikan perihal lamaran pada Adipati Lamongan. Singkat cerita, setelah berunding dengan keluarga, termasuk sang pangeran Panji Laras dan Panji Liris, beserta pejabat Kadipaten Lamongan. Maka akhirnya lamaran ini diterima dengan syarat agar kedua puteri kembar Adpati kediri ini datang ke Lamongan sambil masing-masing membawa sebuah gentong yang terbuat dari batu berisi air penuh, beserta alasnya untuk ditaruh di alun-alun Kadipaten Lamongan. Dan, akan dijemput oleh Pangeran Panji Laras dan Panji Liris di perbatasan bagian selatan Kadipaten Lamongan.
Singkat cerita, akhirnya Adipati Kediri bersedia menerima persyaratan itu. Dan entah gimana ceritanya kedua putri Kadipaten Kediri bisa memiliki memiliki kekuatan super mengangkat kedua gentong tersebut.
Sesuai dengan janjinya Raden Panji Laras dan Raden Panji Liris menjemput kedatangan Dewi Andansari dan Dewi Andanwangi di tepi Kali Lamong, di sekitar Kecamatan Mantup.
Pada zaman itu belum ada jembatan yang menghubungkan Kali Lamong. Sehingga kedua putri itu harus menyeberangi sungai yang sedang melimpah airnya. Ketika menyeberangi sungai, karena tak ingin pakaian yang dikenakannya basah, maka kedua putri tersebut menggulung pakaiannya hingga ke lutut, sehingga kedua betis gadis-gadis ini kelihatan.
Raden Panji Laras dan Raden Panji Liris yang melihat dari seberang sungai terkejut karena mendapati banyak rambut yang tumbuh di kaki-kaki kedua gadis cantik tersebut. Langsung dech ilfil
Setelah peristiwa ini, Raden Panji Laras dan Liris urung menjemput kedua putri Kediri, dan tidak bersedia menikah. Namun kedua putri tetap membawa kedua gentong tersebut hingga ke alun-alun. Namun apa lacur, kedua pangeran dari Lamongan tetap menolak menerima lamaran kedua putri Kediri.
Perihal penolakan dan penghinaan inilah yang memicu perang antara Kadipaten Kediri dan Lamongan. Lha gimana, ibarat kata "Adoh-adoh direwangi teko, abot-abot direwangi nggowo genuk, lha kok dienyek gak karu-karuan" bahasa Indonesianya, walaupun jauh jaraknya tetap ditempuh, walaupun berat membawa gentong tetap dijalankan, lha kok dihina seperti ini.
Singkat cerita terjadilah pertumpahan darah, perang antara Lamongan dan Kediri yang di-backup oleh pasukan Kadipaten Japanan (sekarang lebih dikenal dengan Mojokerto). Panglima perang Kadipaten Lamongan, Ki Sabilan terbunuh karena melindungi Panji Laras & Panji Liris. Ki Sabilan, atau lebih dikenal oleh warga Lamongan dengan sebutan Kinameng atau Mbah Sabilan. Beliau gugur sebagai tameng/perisai, pelindung keluarga Kadipaten Lamongan. Adapun Panji Laras dan Panji Liris, juga dikabarkan gugur di medan perang. Dan...sampai disini saya tidak tahu ceritanya, siapa yang menang dan kalah. Konon, karena peristiwa ini keluarga Kadipaten Lamongan murka, dan mengutuk agar pemuda Lamongan tidak menikah dengan gadis Kediri agar tidak celaka.
Adanya peristiwa ini menimbulkan budaya baru pada Lamongan. Yaitu: satu, timbulnya budaya lamaran dimana pihak wanita yang melamar pada pihak pria. Dan kedua, timbulnya pantangan dimana pemuda Lamongan dilarang menikah dengan gadis dari Kediri. Apabila pantangan ini dilanggar, konon pernikahan keduanya tidak akan berbahagia, atau tak bakal langgeng.
Tradisi melamar pada pihak wanita ke pihak laki-laki masih ada, pada sebagian masyarakat Lamongan. Juga pantangan menikah dengan gadis Kediri masih berlaku pada sebagian kalangan yang masih mempercayai hal ini. Seiring waktu, mungkin hal ini akan tergerus karena proses akulturasi budaya.
Seperti saya ceritakan, kedua buah gentong atau genuk batu, dan dua buah batu seperti kipas tersebut, sampai sekarang masih tersimpan di halaman Masjid Agung Kabupaten Lamongan. Anda juga bisa mendapati Laras-Liris sebagai nama jalan, juga Andansari dan Andanwangi, di sekitaran Kota Lamongan.
Kalau anda berminat mengikuti cerita versi lainnya, saya sudah dapatkan link-nya, silakan cek di sini.
Note:
Okay..., kenapa saya mengingat peristiwa ini? Karena, rupanya saat ini, kawan saya si A, sedang pedekate dengan teman lamaku se-SD-SMP-SMA. Karena si A orang Kediri dan cowok, sedangkan teman lamaku ini cewek dan asli Lamongan. Tapi.... si A 'kan cowok, jadi saya pikir tak ada masalah, tidak menyalahi pantangan.
Well... semoga berhasil pedekate masbro! Maklum, teman lamaku ini agak keras orangnya.
Artikelnya menarik sekali
BalasHapussukses selalu