Saya agak bingung memilih kata kata yang tepat untuk postingan kali ini. Salah dikit, ntar dituduh dukung teroris dan kurang empati akan jatuhnya korban. Jadi mohon maaf sebelumnya jika ada kata yang kurang berkenan.
Innalillahi wa inna illaihi rooji'un.
Tragedi itu terjadi lagi. Negeri yang kocak ini digegerkan lagi dengan teror bom di Surabaya. Setelah sebelumnya terjadi ketegangan yang mengakibatkan korban jiwa di rutan di markas brimob kelapa dua, Depok, antara napi teroris vs anggota polisi.
Ketika teror terjadi di 'rumah' aparat penegak hukum saya anggap mereka mendapat lawan yang setara. Dia bawa senjata anda bawa senjata, ya silakan lah adu tembak, bom boman dll.
Tetapi yang saya sayangkan, kenapa harus di rumah ibadah, terlepas di Gereja atau lainnya. Namanya juga tindakan terorisme, mungkinn lain waktu bisa saja masjid, wihara, pura, candi hindu, atau borobudur bisa jadi targetnya.
Padahal ibadah itu perkara asasi antara manusia dengan dzat paling berkuasa, berkehendak dll yang disebut Tuhan, melalui metode dan cara yang dianutnya, mengikuti petunjuk manusia suci yang disebut sebagai Nabi.
Namun...rupanya mungkin tidak semua manusia sependapat dengan pendapat saya.
Saya paham dan tidak menutup mata bahwa kali ini pelakunya adalah beberapa keluarga muslim. Orang awam akan bertanya tanya, kok bisa ngebom sampai ngajak istri dan anak anaknya yang masih kecil. Kok tega?
Jawabannya adalah bisa. Kenapa? Saya coba akan bercerita pengalaman saya dulu sewaktu kuliah di ITS Surabaya, sekitar tahun 2002.
Seperti kebiasaan mahasiswa yang kuper, jika sudah malam saya sering menghabiskan waktu jalan jalan sendirian di Gramedia Kertajaya ketimbang jalan sama pacar. Lha wong ngomong sama cewek aja gemetaran, gimana mau pacaran.
Sebenarnya saya lebih menyukai buku buku komputer dan teknik, tapi tidak terpaku pada genre itu saja. Suatu hari ketika saya lagi tenggelam dalam rak buku buku Islam saya bertemu dengan seseorang yang berusia 35~40 tahunan, dan 'terlihat' lebih Islami dengan ciri berjenggot dan berdahi agak kehitaman. Lalu kamipun ngobrol basa basi perkenalan. Kemudian terlibat pembicaraan serius tentang Quran.
Saya orangnya 'open mind' walaupun saat itu cenderung berhaluan kiri, penganut Nietzsche dan Marxisme. Namun dari kecil saya mengenyam Madrasah dan dididik secara Islam yang taat. Walaupun sholat masih bolong bolong.
Karena ada perlu lain, akhirnya kami pisah dan bertukar kontak dan alamat. Ingat waktu itu belum ada Facebook, Whattapps, BBM dll. Yang ada telepon rumah dan hp tat tit tut (itupun jarang yg punya).
Singkat cerita, beberapa hari kemudian orang tersebut datang ke kosanku. Tentu saja saya welcome. Kemudian saya perkenalkan ke beberapa teman saya. Namun reaksi orang tsb menginginkan hanya saya saja untuk diskusi bedah Quran. Dan pada pertemuan berikutnya saya diajak ke masjid UPB di daerah Deles, tak jauh dari kosanku. Disitu saya bertemu dengan seorang lagi. Bayangan saya tuh.... saya diajak dengarin ceramah bareng bareng dengab jamaah lainnya. Tapi ternyata, di masjid tidak ada aktivitas selain sholat Maghrib, dan berdoa. Namun, di teras masjid saya dan 2 orang kenalan baru saya mengaji.
Mulanya tidak ada yang aneh... Tapi lantas orang tsb menukil nukil beberapa ayat dari surat, dan mencari arti pemahamannya. Tentu saja pemahaman menurut mereka. Hari pertama ngaji di luar kosan tidak terlalu aneh.
Kemudian beberapa hari kemudian saya ke masjid UPB sesuai janji ketemuan lagi. Sekali lagi seusai sholat kami tidak membaur dengan jamaah lainnya. Dan... mulai menggali dan menukil nukil surat tertentu. Saya agak mulai curiga kenapa yang dinukil adalah ayat ayat yang berkaitan dengan kenikmatan hidup di jalan Allah, jihad, dan penegakan amar ma'ruf nahi munkar. Penegakan ulil amri, dan menyerukan memerangi pemerintahan yang salah (Pemerintah yang Thoghut ).
Sebenarnya siapa yang tidak tergiur akan menjadi golongan yang langsung masuk ke Surga jika berjihad di jalan Allah. Betapa wangi surga tercium dan akan menjadi hamba yang mulia.
Suatu saat saya ada kerjaan (praktek demo), hingga nggak bisa ketemuan ngaji. Akhirnya ba'da Isya' salah satu dari mereka ke kosan saya. Ya... saya minta maaf namun janji untuk ketemuan kapan kapan lagi. Namun kenalanku tersebut sempat ketemu dengan teman kosanku yang seneng jahullah. Mereka tampak bertukar pikiran serius. Namun saya tidak terlalu perhatian, karena saya sibuk nyelesain demo PLC .
Kemudian setelah kenalanku pulang, temen kosku cerita kalau ternyata pemahaman dia beda dengan kenalanku. Bahkan dia menasehatiku, "ati ati lho Mat, kon ketemu nangdi ambek wong iku?"
"Lagi musim NII/DII, saya khawatirnya kenalanmu tersebut cenderung kesana atau golongan radikal lain", ujarnya.
Beberapa hari selepas dinasehati teman, saya masih ketemuan dengan mereka, bandel kan. Sebenarnya aneh ngaji kok dewean, saya sering nanya, katanya nanti diajak bareng bareng kalau sudah sama pemahamannya. Dan hari yang ditunggu tiba saya hendak diajak ngaji ke tempat lain. Apalagi nanti kalau ke lokasinya harus ditutup matanya. Disinilah saya berontak, mbatin "waduh mesti dibaiat aku."
Dari sini cerita saya 'ngaji' berhenti. Saya melarikan diri dengan alasan pacaran (kencan). Ya... kebetulan saat itu ada yang mau denganku, hehehe... Dan lama kelama kelamaan hilang kontak.
Btw, siapa yang tidak tergiur akan menjadi golongan yang langsung masuk ke Surga, jika berjihad di jalan Allah. Bahkan sebagai imam kenapa nggak mengajak keluarga sekalian untuk bersama sama di jalan yang 'mulia'. Menghancurkan kaum yang bertentangan (Thaghut). Walaupun harus berkorban nyawa, nyawa anak, nyawa isteri. Kalau untuk Allah kenapa nggak. Ismail kecil pun dengan senang hati untuk mengorbankan diri, jika ini adalah kehendak Allah.
Itulah jawaban kenapa mereka rela mengorbankan anak isteri.
Tapi... saya tidak sependapat kenapa harus melakukan teror di Indonesia. Kenapa memerangi sesama warga negara Indonesia, kita tidak sedang berperang. Kalaupun ingin menegakkan Islam di negara Indonesia bukan dengan cara ini.
Kita tidak bisa membersihkan sesuatu dengan air yang kotor.
Innalillahi wa inna illaihi rooji'un.
Tragedi itu terjadi lagi. Negeri yang kocak ini digegerkan lagi dengan teror bom di Surabaya. Setelah sebelumnya terjadi ketegangan yang mengakibatkan korban jiwa di rutan di markas brimob kelapa dua, Depok, antara napi teroris vs anggota polisi.
Ketika teror terjadi di 'rumah' aparat penegak hukum saya anggap mereka mendapat lawan yang setara. Dia bawa senjata anda bawa senjata, ya silakan lah adu tembak, bom boman dll.
Tetapi yang saya sayangkan, kenapa harus di rumah ibadah, terlepas di Gereja atau lainnya. Namanya juga tindakan terorisme, mungkinn lain waktu bisa saja masjid, wihara, pura, candi hindu, atau borobudur bisa jadi targetnya.
Padahal ibadah itu perkara asasi antara manusia dengan dzat paling berkuasa, berkehendak dll yang disebut Tuhan, melalui metode dan cara yang dianutnya, mengikuti petunjuk manusia suci yang disebut sebagai Nabi.
Namun...rupanya mungkin tidak semua manusia sependapat dengan pendapat saya.
Saya paham dan tidak menutup mata bahwa kali ini pelakunya adalah beberapa keluarga muslim. Orang awam akan bertanya tanya, kok bisa ngebom sampai ngajak istri dan anak anaknya yang masih kecil. Kok tega?
Jawabannya adalah bisa. Kenapa? Saya coba akan bercerita pengalaman saya dulu sewaktu kuliah di ITS Surabaya, sekitar tahun 2002.
Seperti kebiasaan mahasiswa yang kuper, jika sudah malam saya sering menghabiskan waktu jalan jalan sendirian di Gramedia Kertajaya ketimbang jalan sama pacar. Lha wong ngomong sama cewek aja gemetaran, gimana mau pacaran.
Sebenarnya saya lebih menyukai buku buku komputer dan teknik, tapi tidak terpaku pada genre itu saja. Suatu hari ketika saya lagi tenggelam dalam rak buku buku Islam saya bertemu dengan seseorang yang berusia 35~40 tahunan, dan 'terlihat' lebih Islami dengan ciri berjenggot dan berdahi agak kehitaman. Lalu kamipun ngobrol basa basi perkenalan. Kemudian terlibat pembicaraan serius tentang Quran.
Saya orangnya 'open mind' walaupun saat itu cenderung berhaluan kiri, penganut Nietzsche dan Marxisme. Namun dari kecil saya mengenyam Madrasah dan dididik secara Islam yang taat. Walaupun sholat masih bolong bolong.
Karena ada perlu lain, akhirnya kami pisah dan bertukar kontak dan alamat. Ingat waktu itu belum ada Facebook, Whattapps, BBM dll. Yang ada telepon rumah dan hp tat tit tut (itupun jarang yg punya).
Singkat cerita, beberapa hari kemudian orang tersebut datang ke kosanku. Tentu saja saya welcome. Kemudian saya perkenalkan ke beberapa teman saya. Namun reaksi orang tsb menginginkan hanya saya saja untuk diskusi bedah Quran. Dan pada pertemuan berikutnya saya diajak ke masjid UPB di daerah Deles, tak jauh dari kosanku. Disitu saya bertemu dengan seorang lagi. Bayangan saya tuh.... saya diajak dengarin ceramah bareng bareng dengab jamaah lainnya. Tapi ternyata, di masjid tidak ada aktivitas selain sholat Maghrib, dan berdoa. Namun, di teras masjid saya dan 2 orang kenalan baru saya mengaji.
Mulanya tidak ada yang aneh... Tapi lantas orang tsb menukil nukil beberapa ayat dari surat, dan mencari arti pemahamannya. Tentu saja pemahaman menurut mereka. Hari pertama ngaji di luar kosan tidak terlalu aneh.
Kemudian beberapa hari kemudian saya ke masjid UPB sesuai janji ketemuan lagi. Sekali lagi seusai sholat kami tidak membaur dengan jamaah lainnya. Dan... mulai menggali dan menukil nukil surat tertentu. Saya agak mulai curiga kenapa yang dinukil adalah ayat ayat yang berkaitan dengan kenikmatan hidup di jalan Allah, jihad, dan penegakan amar ma'ruf nahi munkar. Penegakan ulil amri, dan menyerukan memerangi pemerintahan yang salah (Pemerintah yang Thoghut ).
Sebenarnya siapa yang tidak tergiur akan menjadi golongan yang langsung masuk ke Surga jika berjihad di jalan Allah. Betapa wangi surga tercium dan akan menjadi hamba yang mulia.
Suatu saat saya ada kerjaan (praktek demo), hingga nggak bisa ketemuan ngaji. Akhirnya ba'da Isya' salah satu dari mereka ke kosan saya. Ya... saya minta maaf namun janji untuk ketemuan kapan kapan lagi. Namun kenalanku tersebut sempat ketemu dengan teman kosanku yang seneng jahullah. Mereka tampak bertukar pikiran serius. Namun saya tidak terlalu perhatian, karena saya sibuk nyelesain demo PLC .
Kemudian setelah kenalanku pulang, temen kosku cerita kalau ternyata pemahaman dia beda dengan kenalanku. Bahkan dia menasehatiku, "ati ati lho Mat, kon ketemu nangdi ambek wong iku?"
"Lagi musim NII/DII, saya khawatirnya kenalanmu tersebut cenderung kesana atau golongan radikal lain", ujarnya.
Beberapa hari selepas dinasehati teman, saya masih ketemuan dengan mereka, bandel kan. Sebenarnya aneh ngaji kok dewean, saya sering nanya, katanya nanti diajak bareng bareng kalau sudah sama pemahamannya. Dan hari yang ditunggu tiba saya hendak diajak ngaji ke tempat lain. Apalagi nanti kalau ke lokasinya harus ditutup matanya. Disinilah saya berontak, mbatin "waduh mesti dibaiat aku."
Dari sini cerita saya 'ngaji' berhenti. Saya melarikan diri dengan alasan pacaran (kencan). Ya... kebetulan saat itu ada yang mau denganku, hehehe... Dan lama kelama kelamaan hilang kontak.
Btw, siapa yang tidak tergiur akan menjadi golongan yang langsung masuk ke Surga, jika berjihad di jalan Allah. Bahkan sebagai imam kenapa nggak mengajak keluarga sekalian untuk bersama sama di jalan yang 'mulia'. Menghancurkan kaum yang bertentangan (Thaghut). Walaupun harus berkorban nyawa, nyawa anak, nyawa isteri. Kalau untuk Allah kenapa nggak. Ismail kecil pun dengan senang hati untuk mengorbankan diri, jika ini adalah kehendak Allah.
Itulah jawaban kenapa mereka rela mengorbankan anak isteri.
Tapi... saya tidak sependapat kenapa harus melakukan teror di Indonesia. Kenapa memerangi sesama warga negara Indonesia, kita tidak sedang berperang. Kalaupun ingin menegakkan Islam di negara Indonesia bukan dengan cara ini.
Kita tidak bisa membersihkan sesuatu dengan air yang kotor.